Ombak Remaja



oleh Hoshiko Kalea (Tri Hartati)

(Diterbitkan di Koran PontianakPost Edisi Minggu, 20 September 2015)

Bukankah hidup itu selalu mengalami perubahan? Bukankah perubahan itulah yang kita harapkan. Seperti bumi yang nampak indah teratur dengan bangunan-bangunan nan megah. Seperti manusia yang merubah dirinya menjadi manusia super mewah. Indah dan hebat bukan?
***
Teman-teman memasukanku dalam golongan murid culun namun berprestasi. Bagiku menjadi kutu buku yang menghabiskan huruf-huruf di perpustakaan sekolah menjadi pilihan hidupku. Atau malam mingguan menghabiskan beberapa lembar kertas untuk di tulisi puisi. Aman, nyaman dan bermanfaat. Setidaknya mengirit uang jajan, selalu mendapat acungan jempol dari Ayah dan ibu juga lebih bisa menjaga diri.
Sekolah Menengah Atas tentunya lanjutan pubertas dari es-em-pe. Mata-mata polos serba ingin tahu merespon segala info-info terbaru, terhangat dan tersegar. Ranahnya adalah dunia remaja dengan lawan jenisnya, trend masa kini, dan kebenaran yang di samarkan.
Bukankah kamu cantik silfa?sayang kalau waktumu di habiskan di lipatan buku. Hayo, gabung dengan kami menjelajah dunia baru yang indah. Kata-kata Astri menggiurkan. Lanjutannya adalah beberapa keping film barat yang berisi remaja hura-hura, novel percintaan romantis dan majalah mode terkenal. Aku ternganga dan merasa hidup di kampung pedalaman. Memandangi badan yang tidak semampai, baju rapi dan jilbab yang biasa saja. Aku biasa saja, padahal zaman sudah modern, gumamku. Lalu harusnya aku bagaimana?
“Sudah beli saja, kapan lagi kau bisa berubah”. Aku tercenung di depan gaun warna biru muda tanpa lengan.
Korean banget lho”. Astri membujukku kembali. Tidak! Aku tak sanggup membayangkannya jika harus pergi ke acara ulang tahun Dinar memakai pakaian seperti ini. Jilbab kulepas demi sebuah perubahan pergaulan? Tidak! Aku malu. Aku tak percaya diri jika memakainya. Tapi aku tak punya gaun seindah ini.
“Sepatunya yang ini saja”. Astri memilihkannya lagi. Oh, aku seperti Cinderella yang baru turun pesta. Inilah pertama kalinya memakai gaun terbuka dan  seindah ini.
“Semuanya serba luar negeri dong, gengsi kalau pakai buatan dalam negeri, kualitas jelek dan murah!”. Sembur Astri.
Malam minggu membuyarkan konsentrasiku. Ada hal lain yang kupikirkan dari siang tadi. Bagaimana memohon izin pada Ayah dan ibu untuk pergi ke pestanya Dinar. Biasanya Ayah dan ibu tak keberatan, tapi ini hal lain lagi.
            Memohon izin untuk pergi pesta sampai tengah malam adalah hal gila yang belum pernah kulakukan. Apa rencana? Pamit menginap di rumah Sandra yang juga culun adalah di percaya seratus persen oleh Ayah dan ibu. Maka inilah hari kebebasanku bersama dunia baru.
***
Bukankah perubahan itu penting? Penting? Aku membanting kertas yang tak bersalah apa-apa. Hanya karena di pojok kanan tercoret tinta warna merah yang membentuk angka tiga koma lima. Matematikaku merenggut senyum tulusku hari ini pada guru bersahaja yang tak bersalah apa-apa. Aku mengumpatnya dalam hati, bahwa ia hari itu tak bisa menjelaskan dengan baik. Aku dendam, bahwa ulangannya tak bisa di undur waktunya, padahal aku baru belajar menjelang subuh karena keasyikan menonton film seri korea. Takjub melihat aktor yang tampan dan pakaian yang modis serta alur cerita remaja yang asyik, membuat mataku tak mengantuk sampai dini hari. Terpaksa harus mengikuti remedial yang memalukan. Sial! Aku mengumpat kata-kata kasar yang belum pernah kuucapkan, kata-kata Astri ternyata menular padaku.
Tak jera. Di rumah melanjutkan menonton film korea. Buku-buku novel sastra lama  favoritku terlupakan di laci meja belajar. Padahal isi kandungan novel sastra lama memberikan pelajaran moral dan mengangkat budaya lokal yang luhur. Namun, Film-film percintaan Korea lebih mengena di hati. Asyik dengan keromantisan yang indah dan tanpa malu-malu. Terbayang juga indahnya bersama seseorang yang kita cintai. Berdua menikmati semburat senja di pantai atau berjalan di perbukitan yang hijau dan segar. Dengan siapa? Aku mulai berpikir untuk mencari pacar. Jomblo bikin bête, kata Astri dan teman-temannya.
“Silfa bangun, tak pernah lagi ya shalat Subuh tepat waktu. Sudah jam berapa ini?”. Mama menggedor pintu kamarku. Terasa berisik suara mama yang lembut. Padahal aku baru tidur dua jam yang lalu. Baru saja menuntaskan episode terakhir drama korea yang menyedihkan.
Aku beringsut turun menuju kamar mandi. Berwudhu. Dalam shalatku, bayanganku pada film yang menyedihkan endingnya. Kenapa, keromantisan yang sudah terjalin harus di pisahkan oleh kemunculan seseorang yang bisa merebut hati wanitanya. Dengan gentleman di lepaskan kisah cinta yang telah terjalin bertahun-tahun. Aku tak terima! Oh, aku teringat sesuatu, pe-er matematikaku belum kukerjakan! Aku juga tak terima dengan kepikunanku sekarang.
***
Ternyata aku hanya di jadikan teman pelengkap saja. Tak benar-benar dianggap teman dekat. Walaupun aku sering di pinjami Astri CD film-film luar negeri, tapi aku tak bisa benar-benar dekat dengannya ataupun dengan teman-temannya. Padahal aku sudah mencoba menjauhi Sandra agar tak kembali culun seperti dia. Aku kelimpungan sekarang. Karena sering ngobrol dengan Astri , sehingga tak memperhatikan guru matematika menjelaskan materi. Banyak tugas-tugas yang ada tak bisa ku mengerjakannya. Sandra duduk menjauh dariku. Aku duduk dengan Astri yang berotak pas-pasan dan sedang mencontek pekerjaan Dinar.
Aku semakin kelimpungan. Aku menatap sosokku sendiri yang berjalan gontai menuju jalan pulang. Wajahku kuyu dan otakku kosong, yang ada di pikiranku adalah menghabiskan film-film romantis, novel-novel romantis, jalan-jalan bersama Astri menuju Mall yang banyak barang mewah sambil ngecengin cowok-cowok keren. Ternyata kejadian itu telah terjadi selama satu semester ini. Aku bukan hanya culun sekarang, tapi juga bodoh.
Dunia menjadi terbalik sekarang. Tak lagi membuatku betah di mana pun berada. Aku telah kehilangan jati diri yang dulu kusangsikan. Ingin kembali lagi menjadi diriku sendiri. Diri ini yang biasa namun tersimpan mutiara yang suatu saat akan bersinar dengan indahnya. Biarlah menjadi terpendam dan terdiam, tak mengenal barang-barang merk luar negeri, tak bisa melihat betapa modisnya aktor dan aktris korea. Aku ingin duniaku di kembalikan seperti dulu, asyik melukis inspirasi tak bertepi di sebuah kertas masa depan. Jungkir balik masa-masa remaja begitu menakutkan dan menegangkan. Kebenaran di samarkan menjadi keburukan sehingga ragu untuk menggapainya. Remaja adalah darah merah yang bergejolak dan menjadi sasaran informasi penghancuran mental. Aku membaca sebuah ulasan tentang remaja yang menyeramkan, yang dengan segala problematika dalam pergaulan dan tercemarnya kehidupan oleh budaya asing. Aku akhirnya terhenti dengan sendirinya, merasakan kebenaran dampak yang kini memerangi batin. Aku tersiksa.
Tergolek-golek lemah di tempat tidur. Bingung. Semua majalah, CD film dan novel-novel terjemahan milik Astri sudah kukembalikan. Sandra kurangkul kembali menuju perpustakaan. Otak-atik rumus matematika menjadi kebiasaanku lagi bersama Sandra ketika makan bakwan di kantin. Namun, kebiasaan nikmat yaitu menonton film romantis rupanya mengganggu otakku. Terasa sekali ketagihan yang sudah mengakar di hati. Gelisah dan rasa penasaran kuat. Sekuat tenaga kutepiskan hal-hal indah yang tak menguras otak itu. Aku pasti bisa menemukan kembali dunia yang tenteram serta mengembalikan jati diri ini menetap di jiwaku.
***
Bumi yang dirubah dengan kemegahan dan bangunan-bangunan malah akan semakin rusak. Menyebabkan kehilangan keseimbangan alam dan polusi yang menakutkan. Begitu juga manusia yang di hiasi dengan kemewahan semu, memuja budaya barat yang modern sehingga kehilangan jati diri. Tak ada lagi identitas yang di sandangnya, berdiri goyah menjadi manusia modern yang hedonis, konsumtif dan krisis kesopanan.


Pontianak, 31 Juli 2013










Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.