Ombak Remaja
oleh Hoshiko Kalea (Tri Hartati)
(Diterbitkan di Koran
PontianakPost Edisi Minggu, 20 September 2015)
Bukankah
hidup itu selalu mengalami perubahan? Bukankah perubahan itulah yang kita
harapkan. Seperti bumi yang nampak indah teratur dengan bangunan-bangunan nan
megah. Seperti manusia yang merubah dirinya menjadi manusia super mewah. Indah
dan hebat bukan?
Teman-teman
memasukanku dalam golongan murid culun
namun berprestasi. Bagiku menjadi kutu buku yang menghabiskan huruf-huruf di
perpustakaan sekolah menjadi pilihan hidupku. Atau malam mingguan menghabiskan
beberapa lembar kertas untuk di tulisi puisi. Aman, nyaman dan bermanfaat.
Setidaknya mengirit uang jajan, selalu mendapat acungan jempol dari Ayah dan
ibu juga lebih bisa menjaga diri.
Sekolah
Menengah Atas tentunya lanjutan pubertas dari es-em-pe. Mata-mata polos serba
ingin tahu merespon segala info-info terbaru, terhangat dan tersegar. Ranahnya
adalah dunia remaja dengan lawan jenisnya, trend
masa kini, dan kebenaran yang di samarkan.
Bukankah kamu cantik
silfa?sayang kalau waktumu di habiskan di lipatan buku. Hayo, gabung dengan
kami menjelajah dunia baru yang indah. Kata-kata Astri menggiurkan. Lanjutannya
adalah beberapa keping film barat yang berisi remaja hura-hura, novel
percintaan romantis dan majalah mode
terkenal. Aku ternganga dan merasa hidup di kampung pedalaman. Memandangi badan
yang tidak semampai, baju rapi dan jilbab yang biasa saja. Aku biasa saja, padahal zaman sudah modern, gumamku. Lalu harusnya aku bagaimana?
“Sudah
beli saja, kapan lagi kau bisa berubah”. Aku tercenung di depan gaun warna biru
muda tanpa lengan.
“Korean banget lho”. Astri membujukku
kembali. Tidak! Aku tak sanggup membayangkannya jika harus pergi ke acara ulang
tahun Dinar memakai pakaian seperti ini. Jilbab kulepas demi sebuah perubahan
pergaulan? Tidak! Aku malu. Aku tak percaya diri jika memakainya. Tapi aku tak
punya gaun seindah ini.
“Sepatunya
yang ini saja”. Astri memilihkannya lagi. Oh, aku seperti Cinderella yang baru
turun pesta. Inilah pertama kalinya memakai gaun terbuka dan seindah ini.
“Semuanya
serba luar negeri dong, gengsi kalau pakai buatan dalam negeri, kualitas jelek
dan murah!”. Sembur Astri.
Malam
minggu membuyarkan konsentrasiku. Ada hal lain yang kupikirkan dari siang tadi.
Bagaimana memohon izin pada Ayah dan ibu untuk pergi ke pestanya Dinar.
Biasanya Ayah dan ibu tak keberatan, tapi ini hal lain lagi.
Memohon izin untuk pergi pesta
sampai tengah malam adalah hal gila yang belum pernah kulakukan. Apa rencana?
Pamit menginap di rumah Sandra yang juga culun
adalah di percaya seratus persen oleh Ayah dan ibu. Maka inilah hari
kebebasanku bersama dunia baru.
***
Bukankah
perubahan itu penting? Penting? Aku membanting kertas yang tak bersalah
apa-apa. Hanya karena di pojok kanan tercoret tinta warna merah yang membentuk
angka tiga koma lima. Matematikaku merenggut senyum tulusku hari ini pada guru
bersahaja yang tak bersalah apa-apa. Aku mengumpatnya dalam hati, bahwa ia hari
itu tak bisa menjelaskan dengan baik. Aku dendam, bahwa ulangannya tak bisa di
undur waktunya, padahal aku baru belajar menjelang subuh karena keasyikan
menonton film seri korea. Takjub melihat aktor yang tampan dan pakaian yang
modis serta alur cerita remaja yang asyik, membuat mataku tak mengantuk sampai
dini hari. Terpaksa harus mengikuti remedial yang memalukan. Sial! Aku
mengumpat kata-kata kasar yang belum pernah kuucapkan, kata-kata Astri ternyata
menular padaku.
Tak
jera. Di rumah melanjutkan menonton film korea. Buku-buku novel sastra lama favoritku terlupakan di laci meja belajar.
Padahal isi kandungan novel sastra lama memberikan pelajaran moral dan mengangkat
budaya lokal yang luhur. Namun, Film-film percintaan Korea lebih mengena di
hati. Asyik dengan keromantisan yang indah dan tanpa malu-malu. Terbayang juga
indahnya bersama seseorang yang kita cintai. Berdua menikmati semburat senja di
pantai atau berjalan di perbukitan yang hijau dan segar. Dengan siapa? Aku
mulai berpikir untuk mencari pacar. Jomblo bikin bête, kata Astri dan teman-temannya.
“Silfa
bangun, tak pernah lagi ya shalat Subuh tepat waktu. Sudah jam berapa ini?”.
Mama menggedor pintu kamarku. Terasa berisik suara mama yang lembut. Padahal
aku baru tidur dua jam yang lalu. Baru saja menuntaskan episode terakhir drama
korea yang menyedihkan.
Aku
beringsut turun menuju kamar mandi. Berwudhu. Dalam shalatku, bayanganku pada
film yang menyedihkan endingnya. Kenapa, keromantisan yang sudah terjalin harus
di pisahkan oleh kemunculan seseorang yang bisa merebut hati wanitanya. Dengan gentleman di lepaskan kisah cinta yang
telah terjalin bertahun-tahun. Aku tak terima! Oh, aku teringat sesuatu, pe-er
matematikaku belum kukerjakan! Aku juga tak terima dengan kepikunanku sekarang.
***
Ternyata
aku hanya di jadikan teman pelengkap saja. Tak benar-benar dianggap teman
dekat. Walaupun aku sering di pinjami Astri CD film-film luar negeri, tapi aku
tak bisa benar-benar dekat dengannya ataupun dengan teman-temannya. Padahal aku
sudah mencoba menjauhi Sandra agar tak kembali culun seperti dia. Aku kelimpungan sekarang. Karena sering ngobrol
dengan Astri , sehingga tak memperhatikan guru matematika menjelaskan materi.
Banyak tugas-tugas yang ada tak bisa ku mengerjakannya. Sandra duduk menjauh
dariku. Aku duduk dengan Astri yang berotak pas-pasan dan sedang mencontek
pekerjaan Dinar.
Aku
semakin kelimpungan. Aku menatap sosokku sendiri yang berjalan gontai menuju
jalan pulang. Wajahku kuyu dan otakku kosong, yang ada di pikiranku adalah
menghabiskan film-film romantis, novel-novel romantis, jalan-jalan bersama
Astri menuju Mall yang banyak barang mewah sambil ngecengin cowok-cowok keren. Ternyata kejadian itu telah terjadi
selama satu semester ini. Aku bukan hanya culun
sekarang, tapi juga bodoh.
Dunia
menjadi terbalik sekarang. Tak lagi membuatku betah di mana pun berada. Aku
telah kehilangan jati diri yang dulu kusangsikan. Ingin kembali lagi menjadi
diriku sendiri. Diri ini yang biasa namun tersimpan mutiara yang suatu saat
akan bersinar dengan indahnya. Biarlah menjadi terpendam dan terdiam, tak
mengenal barang-barang merk luar
negeri, tak bisa melihat betapa modisnya aktor dan aktris korea. Aku ingin
duniaku di kembalikan seperti dulu, asyik melukis inspirasi tak bertepi di
sebuah kertas masa depan. Jungkir balik masa-masa remaja begitu menakutkan dan
menegangkan. Kebenaran di samarkan menjadi keburukan sehingga ragu untuk
menggapainya. Remaja adalah darah merah yang bergejolak dan menjadi sasaran
informasi penghancuran mental. Aku membaca sebuah ulasan tentang remaja yang
menyeramkan, yang dengan segala problematika dalam pergaulan dan tercemarnya
kehidupan oleh budaya asing. Aku akhirnya terhenti dengan sendirinya, merasakan
kebenaran dampak yang kini memerangi batin. Aku tersiksa.
Tergolek-golek
lemah di tempat tidur. Bingung. Semua majalah, CD film dan novel-novel
terjemahan milik Astri sudah kukembalikan. Sandra kurangkul kembali menuju
perpustakaan. Otak-atik rumus matematika menjadi kebiasaanku lagi bersama Sandra
ketika makan bakwan di kantin. Namun, kebiasaan nikmat yaitu menonton film romantis
rupanya mengganggu otakku. Terasa sekali ketagihan yang sudah mengakar di hati.
Gelisah dan rasa penasaran kuat. Sekuat tenaga kutepiskan hal-hal indah yang
tak menguras otak itu. Aku pasti bisa menemukan kembali dunia yang tenteram
serta mengembalikan jati diri ini menetap di jiwaku.
***
Bumi
yang dirubah dengan kemegahan dan bangunan-bangunan malah akan semakin rusak. Menyebabkan
kehilangan keseimbangan alam dan polusi yang menakutkan. Begitu juga manusia
yang di hiasi dengan kemewahan semu, memuja budaya barat yang modern sehingga
kehilangan jati diri. Tak ada lagi identitas yang di sandangnya, berdiri goyah
menjadi manusia modern yang hedonis, konsumtif dan krisis kesopanan.
Pontianak,
31 Juli 2013
Leave a Comment