Membangun Konflik dalam Novel (Bagian 1)
Oleh: Afifah Afra
Tanpa konflik, tak ada plot. Tanpa plot, tak ada
cerita. Tak ada
cerita, tak ada novel. Rangkaian kalimat ini tak bisa dianalogikan dengan
sesuatu, semisal garam. Tak ada garam tak ada sayur. Tak ada sayur tak ada
makanan. Tak ada makanan tak ada sarapan.
Konflik lebih dari sekadar garam. Meski orang tak bisa
menikmati makanan tanpa garam, tetaplah semangkok sayur itu disebut sebagai
makanan. Sementara, tanpa konflik, setumpuk kertas berjilid tak akan bisa
disebut sebagai sebuah novel. Cukup jelas, ya! Tak ada ulangan.
Ya, without conflict, there is no plot! (Kok diulangi? :-D). The plot mountain is created around the conflict. Diawali dari perkenalan tokoh-tokoh, lalu munculnya permasalahan, klimaks, antiklimaks dan ending.
Penulis novel memang "tukang bikin
gara-gara". Jika di kehidupan sosial, konflik itu dihindari, dalam
menyusun sebuah novel, konflik malah dibutuhkan. Pada dasarnya, menyusun sebuah
novel, adalah pekerjaan mencari konflik, mengembangkan konflik dan mengakhiri
konflik. Eh, jangan ditambah kalimat: "Awas, penulis novel dilarang masuk
area politik!" Sama sekali tidak perlu. Karena, sudah banyak yang lebih
jago membuat konflik di sana #ehh...
TOKOH
Konflik muncul sebagai sebuah konsekuensi adanya
tokoh. Masih ingatkah rumus plot ala Josip Novacovich, bahwa Plot adalah Tokoh
ditambah Setting? PLOT = TOKOH + SETTING.
Dalam menyusun sebuah cerita, tokoh adalah pelaku
cerita. Tokoh diberi ‘nyawa’ sehingga memiliki “LIFELIKENESS” alias
“KESEPERTIHIDUPAN.” Tokoh juga diberi karakter sebagaimana manusia, dengan tiga
dimensi karakter, meliputi fisiologis, sosiologis, dan psikologis.
Si Rangga lelaki tampan, berambut ikal, bertubuh
langsing, bermata cokelat dengan tatapan tajam setajam silet, berdarah campuran
Spanyol-Eskimo-Madura-Somalia… ini adalah dimensi fisiologis. Banyak penulis
dengan sangat pintar dan teliti menggambarkan dimensi fisiologis ini
sampai-sampai tatanan sel-sel kulit arinya pun dengan jeli dipaparkan.
Sosiologis berkaitan dengan status dalam
kemasyarakatan. Misal, Rangga lulusan teknik kimia ITB yang kabur ke Amerika
dan dengan keberuntungan segede gunung berhasil tembus Harvard University.
Lulus cum laude dan mendapatkan pekerjaan sebagai stuntmant di Hollywood. Lalu
karena nasib sedang mujur, dia berhasil mendapat peran lumayan dan selanjutnya
laris mendapatkan peran figuran.
Dimensi psikologis tak kalah penting. Bahkan
seringkali, pengembangan karakter dalam dimensi ini cukup membangun greget
tersendiri dibanding dengan dua dimensi yang lain. Mentalitas, moralitas,
tingkat kecerdasan, kejiwaan dan sebagainya, jika dieksplor dengan unik, bisa
menghasilkan konflik yang ‘elegan.’ Penjahat Millicent Clyde (diperankan dengan
ciamik oleh Nicole Kidman), dalam film Paddington, mampu meraup simpati setelah
karakter kejiwaannya dikuliti.
Millicent sangat sedih karena ayahnya,
Montgomery Clyde tidak diakui sebagai Explorer yang berhasil menembus
rimba Peru hanya karena tidak membawa spesies khas sebagai bukti. Clyde Senior
menolak membunuh beruang-beruang yang cerdas dan “berbudaya”. Millicent pun
berjanji akan membuktikan bahwa ayahnya adalah Explorer sejati sekelas Colombus
atau Charles Darwin. Maka, ketika bertemu Beruang Paddington, Millicent sangat
bernafsu menangkap Paddington untuk diawetkan.
Di tangan novelis yang pintar mengembangkan dimensi
psikologis, pembaca bisa “jatuh cinta” dengan penjahat, dan sebaliknya bahkan
sebal setengah mati kepada tokoh protagonisnya. Karena itu, seorang penulis
novel sejatinya sangat berbahaya, karena bisa "menginfiltrasi"
pemikiran seseorang tanpa seseorang itu tahu bahwa dia sedang diinfiltrasi.
Catatan penting pakai stabilo merah, nih ya... penulis novel kudu benar-benar
menjadikan ketrampilan ini untuk kebaikan... misal ajakan untuk berbuat baik,
memberikan pencerahan, dan bukan sebaliknya.
INTERAKSI
TOKOH
Sebagaimana dalam sebuah masyarakat, dimana
orang-orang yang ada saling berinteraksi, di dalam novel pun begitu. Rangga
bertemu Ranggi, jatuh cinta para Rengganis, tetapi ditentang Roni dan didukung
Rino.
Karena kita sudah memberi karakter kepada tokoh-tokoh
tersebut, maka terjadilah konflik yang bersumber pada karakter yang berlawanan.
Kita mengenal berbagai jenis konflik, misalnya:
1. Human vs Human: karakter satu dengan
karakter lain, antagonis melawan protagonist, “good guy” vs “bad guy.” Ini
konflik yang paling lazim.
2. Humaan vs Nature: misal, melawan
bencana, kehidupan yang sulit, binatang buas dll.
3. Human vs Society: misal, melawan
adat-istiadat, lingkungan masyarakat, dll.
4. Internal Conflict: Man vs Self
Ada juga
konflik-konflik yang ‘tak lazim’, misal seperti manusia melawan mesin,
manusia melawan robot, manusia melawan kuman, bahkan juga manusia melawan
kata-kata yang ditulisnya.
Sumber: Afifah
Afra
Leave a Comment