Cerpen | Gubuk Tua

Oleh: Ryu Sang Penyair Qalbu

Bau anyir amis campur wangian lagi malam ini. Tercium kunyahan sirih Uwan semerbak bak penagantin bermadikan 7 bunga 7 telaga. Baru pukul 21.30, jalanan Gg sudah sepi dan berkabut. Ai, gadis manis berambut panjang, seperti biasa pulang kerja dan kuliah malam. Lelah seharian tak pengaruhi niat hendak lewat jalan tikus yang pintas. Becek dan belum disemen. Kiri kanan rampuk lebat. Kadang gesekan dedaun dan ranting patah. Kadang pula gumam cekikikan dari tupai dan musang. Agaknya binatang berburu malam, sehingga bangkai-bangkai menyengati hidung.
Banyak rumor beredar dari mulut ke telinga. Jalan setapak itu angker. Hanya ada satu gubuk tua yang tak berpenghuni. Sekitar lebih dari 60 tahun ditinggal mati tuannya. Tiangnya masih kokoh meski reyot termakan rayap, lantai berdenyit jika terpijak. Itu dulu tempat bermain Ai ketika masih SD bersama temannya. Kini ia lewati seperti biasa. Kali ini lagi-lagi gubuk itu terang. Ai hanya menghela nafas, agaknya ia letih sehingga pandangan berimajinasi tanpa perintah. Setaunya, tak ada yang mau menghuni gubuk itu.
“nyit...nyit...nyit...” suara gesekkan benda. Ai mulai merinding dan menelan ludah. 
“Crek...srek..srek.. tap” langkah kaki seperti diseret berat. Semakin lama semaakin mendekat. Ai terhenti langkah. Ia cari asal suara. Semakin lama semakin mendekat. Suara itu dari arah belakangnya. Bulu kuduknya merinding. Ia percepat langkah. Setengah berlari. Dan tak tahan ketakutannya memuncak, ia lari secepat kilat.
**
Gang setapak kecil itu tanpa nama. Juga tak ada rumah-rumah kecuali sebuah pondok tua yang hampir rubuh. Sepanjang gang itu semak belukar. Ai sering menyebutnya Gang Sepi. Gang Sepi yang berada di dalam komplek pengkantoran dan perumahan dinas di sebuah kota besar. Untuk sampai ke rumah Ai, jalan kecil itulah yang paling pintas.
Awalnya, kata orang dulu terdapat rumah tunggal besar nan megah di gang itu, lalu karena satu dan lain hal, rumah itu dihancurkan. Kini hanya tinggal pagarnya yang megah dan sebuah gubuk tua di tengah halaman. Lalu di belakang halaman yang luas itu terdapat pula tempat pemakaman atau kuburan muslim yang luas, memanjang hingga beberapa puluh kapling. Juga perbatasan antar komplek di sebelahnya. Tempat tinggal Ai. Ia tak tahu banyak info itu, karena waktu SD, Ai hanyalah anak kecil polos yang asik bermain di mana pun ia suka, tanpa mengetahui arena permainannya. Juga setelah beberapa tahun kemudian Ai pindah hingga kini ia baru semester 3, satu di antara perguruan tinggi di kota provinsi, Pontianak. Bearti baru satu tahun yang lalu ia pindah lagi ke sini dan menempati rumahnya yang dulu.
Dan belakangan ini banyak rumor yang beredar. Ai tak tahu pasti. Yang jelas ketika teman-teman kampusnya tahu ia tinggal di komplek Jaya, semuanya terbelalak dan tersenyum kecut. Yang tadinya hendak main ke rumah Ai, lantas batal. Bersyukur Ai sekarang tinggal berdua dengan sahabat kecilnya, Tri yang juga seorang penakut. Pernah suatu ketika, Jack sahabat kelasnya berkisah bahwa di komplek itu terdapat kuntilanak merah. Ada pula yang mengatakan hantu nenek-nenek, juga rombongan anak-anak yang jalan-jalan santai di malam hari.
Ai pula tak membantah, juga antara percaya dan tidak. Pasalnya pernah suatu malam Ai pulang kerja tak lewat jalan pintas gang Sepi, melainkan komplek di sebelahnya, Komplek Jaya, alamat rumahnya. Saking lelahnya, ia kurang memperhatikan dengan jelas yang ada di sekitarnya. Ketika ia masuk komplek pukul 21.30, serombongan orang dewasa dan anak kecil melintas, setau Ai orang-orang tersebut bukan penduduk komplek. Mereka berjalan di kanan dan kiri dengan diam dan tatapan nanar. Ai tak menghiraukan. Ia melintas di tengah rombongan itu biasa saja. Namun tak berapa lama kemudian Ai menyadari bahwa pukul segini tak lazim bagi orang-orang lalu lalang. Cepat ia meliat dari kaca sepion motornya, namun tak didapatkan satu pun orang yang tampak. Lantas dengan menambah kecepatan 80 km per jam, ia istigfar dan mengebut lalu.
****
 “Ai, lesu tampak kau ni. Kenapa? Sakit?” tanya Tri, teman sekerja dan sekampus yang perhatian. Pasal semalam, Ai tak bisa tidur. Terlalu bodoh ia tanggapi serius perasaannya. 
 “Kamu masih ingat, gubuk tua tempat kita bermain waktu kecil?”
 “Iya, kenapa? Sudah roboh kan? Jadi karena itu kau lesu begini?” cerocos secerewet petasan.
 “Belum roboh. Semalam aku lewat situ. Gubuk itu terang.”
 “Hah? Masa sih. Ah mungkin saja yang kau lihat itu kunang-kunang.”
 “Awalnya kupikir begitu. Masa kunang-kunang sangat terang. Dan aku seperti diikuti orang. Aku langsung lari saja.”
 “Hah? Hahaha kau ni jangan nakut-nakutin aku.” Cetus Tri yang tampak beraut kerut mulai ketakutan.
 “Taklah... apa kamu tau sesuatu tentang rumah itu?”
 “Mana kutahu. Haha... uadah ah... aku mau tidur.”
Ai masih dalam bayangan khayalannya tentang pondok tua itu. Jelas-jelas tadi itu suara langkah manusia. Ia sangat yakin. 
*****
Pagi yang berisik. Semalaman Ai sulit tidur. Ia baru terlelap setelah shalat subuh. Sekarang baru pukul 6.00 dini hari. Orang-orang sekomplek ribut entah apa. Ia malas menanggapi kekacauan di luar. Lalu Tri, dengan cemas dan kasar membangunkannya.
 “Ai... Ai... bangun Ai...” sambil mengguncang tubuh Ai sekuat mungkin. Ai hanya menutup telingga dan menarik selimut kembali.
“Ai... bangun... ada pembunuhan.” Pekik Tri dekat telinga Ai. Spontan Ai berdiri dan terbelalak.
“Hah??? Jangan becanda!”pekik Ai balik.
“Orang-orang lagi ribut di luar tuh. Kau malah bilang ini bercanda. Dua rius tau.”
“What? Who? When? Where? Why? How?” tanya Ai. Tri menaikan alis. Kebiasaannyalah selalu bertanya langsung 5W+H. Tri hanya menggeleng ketus.
“Tak tahu pasti. Kudengar seorang wanita terbunuh di rumah gubuk tua semalam.”
Ai ternganga, jantungnya berdegub kencang, tubuhnya gemetar. Pasalnya semalam ia lewati rumah itu sendirian. Apakah langkah yang ia dengar itu adalah pembunuh? Ai hanya menelan ludah pahitnya. 
“Ke..kenapa bisa? Semalam a..aku...”
“Mungkin saja yang kau dengar itu pembunuhnya. Kasian korban, katanya habis di perkosa terus kepalanya di penggal.” Jelas Tri gemetar sambil memegang tangan Ai. Keduanya ketakutan dan tak habis pikir. Lalu tak berapa lama kemudian...
“tok..tok..tok..” Ai dan Tri kaget. Mereka segera menilik dari balik gorden, dilihatnya dua seragam dinas keamanan milik polisi. Tri langsung membuka pintu.
“Ada yang bisa saya bantu pak?” tanya Tri
“Selamat pagi, maaf menggangu. Menurut penduduk, yang sering lewati jalan sepi itu malam hari adalah saudara Aini. Kami ingin bicara dengannya!”  
“Iya, saya pak yang bernama Aini. Benar saya se..selalu lewat jalan itu. Bahkan semalam juga. Tapi saya tidak tahu apa-apa mengenai pembunuhan itu.” Jelas Ai dengan gemetaran tangannya.
“Ia kami bisa mengerti. Kami hanya ingin meminta kesaksian anda saja.”
******
Satu minggu kemudian, suasana masih misteri. Bahkan langit juga ikut mengelamkan diri. Merembes kepedihan dan ketakutan di antara celah-celah awan kelabu. Anak-anak gadis komplek menghilangkan diri di bawah payung rumah dan ketiak orangtua. Pencarian pelaku tak juga menemukan titik terang. Agaknya polisi menyerah. Identitas gadis yang menjadi korban itu belum diketahui. Sidik jari pun tak juga dapat menditeksi raga milik siapa. Seolah-olah kerja para polisi dihalang-halangi. Entah dihalangi oleh apa? Mungkinkah yang kasat mata juga berperan?
Ai tak berani lagi melewati gang Sepi itu, juga tak berani pulang malam lewat komplek lagi. ia cuti kerja. Mungkin hingga sebulan. Ia banyak menghabiskan waktu bersama Tri yang juga masih sama takutnya. Kuliah pergi pulang bersama, pukul 19.00 rumah sudah terkunci rapat dan keduanya saling menguatkan dan menghibur diri akan apa saja sekamar.
Kasus pembunuhan ini bahkan masuk media televisi menjadi straight news. Banyak yang membicarakannya. Media juga berebut bantu pihak kepolisisan untuk mengungkapkan kasus tersebut. Bahkan dari yang ahli ghaib juga turut turun. Ternyata, baru Ai tahu bahwa komplek yang ia tempati itu pernah menjadi bahan perbincangan di media televisi akan misteri makhluk ghaib. Hal ini juga diungkit kembali saat ini oleh stasiun televisi yang sama. Ia baru menyadari ketika ia tengah nonton acara televisi bersama Tri yang mengangkat tema “keberadaan Makhluk Ghaib” yang tengah berlangsung sekarang. Dan keduanya bengong ketakutan.
Ternyata apa yang di beritakan ulang itu, pernah diteliti. Seorang anak indigo mengatakan dulu, pondok tua itu adalah sebuah rumah besar nan megah. Rumah model klasik peninggalan belanda. Dihuni oleh saudagar kaya beristri dua dan memiliki pewaris sebanyak dua orang dari istri pertama juga tiga orang dari istri kedua. Namun, kekayaan taklah mampu mengadilkan kebahagian cinta di antara kedua wanita itu. Istri kedua tak pernah mau bersahabat denbgan istri pertama, selalu ada rasa kecemburuan di hatinya. Hiangga ia mencari cara agar ia memeroleh semua yang diinginkannya. Istri kedua nan muda itu memiliki 3 orang anak. Dua laki-laki dan si bungsu perempuan. Gadis kecil yang cantik itu ditanamkan kebencian ibunya. Hingga anak itu sedikit tak waras. Ia tak takut akan hal apapun. Termasuk membunuh. 
Sang istri muda itu justru menikmati akan kesakitan jiwa anaknya. Ia menyuruh bocah 10 tahun itu membunuh semua orang yang ada di rumah itu. Ia lupa menyebutkan “kecuali ibu”. Lantas suatu malam yang kelam, terjadi pembunuhan bruntun di rumah itu. Bocah itu meminumkan obat tidur ke semua penghuni termasuk ibu, saudara dan pembantu rumah. Setelah itu dengan senyum polos dan tawa renyahnya, bocah gadis itu menikmati tusuk demi tusuk pisau yang menancap pada tubuh setiap orang, bahkan ia juga memotong bagian demi bagian. Lebih parahnya, gadis kecil itu memakan semua dan meminum darah semua orang hari demi hari. 
Hal tersebut di ketahui setelah bau anyir menyebar ke mana-mana. Hingga penduduk menghukum mati saat itu juga boca kecil itu. Konon gadis kecil itu menjelma menjadi kuntilanak merah yang menjadi penjaga dan penghuni gubuk tua itu.






Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.