FLP 'Lokomotif Penulis Muda Indonesia’



oleh Helvi Tiana Rosa
 
Ketika saya dan adik saya Asma Nadia masih kecil, kami sudah ingin menjadi penulis. Tetapi mau belajar kemana? Pada siapa? Kami hanya anak kecil, orang tak punya yang tinggal di sebuah rumah triplek, di tepi rel kereta api. Siapa peduli? Bahkan ketika kami datang ke perpustakaan atau tempat penyewaan buku, kami diusir.

Tahun 1997 saya dan Asma Nadia menggagas sebuah komunitas yang bisa memotivasi dan mewadahi siapa saja (khususnya kaum muda dan dhuafa) agar mereka lebih menyukai kegiatan membaca dan menulis. Tak disangka gagasan ini disambut dengan tangan terbuka oleh teman-teman kami di beberapa universtas negeri, bukan hanya di Jabotabek, tetapi juga hampir di seluruh Indonesia.

Pada saat itu, minat para remaja kita terhadap kegiatan membaca dan menulis tidaklah menggembirakan. Sebagian dari mereka mungkin memiliki minat besar terhadap membaca dan menulis karya sastra, namun tak berkembang karena minimnya forum yang bisa mewadahi, termasuk memotivasi dan melatih mereka menulis, apalagi yang membuka pintu lebar bagi kaum marjinal.. Maka berdirilah Forum Lingkar Pena (FLP), tepatnya pada, 22 Februari 1997. Waktu itu seluruh anggota yang bergabung (30 orang) belum menjadi penulis. Hanya saya yang sudah mempunyai satu buku karya sendiri. Maka secara aklamasi, saya pun dipilih sebagai Ketua.

Dengan seadanya dan terbata-bata, saya berusaha untuk membimbing mereka untuk menjadi penulis. Kebanyakan dari mereka memang mempunyai minat terhadap sastra sehingga saya pun semangat membimbing mereka. Begitulah. Setiap kali ada anggota yang karyanya diterbitkan di media massa nasional, misalnya, maka ia sudah mempunyai kewajiban sebagai mentor dan turut membimbing anggota lain yang lebih “yunior” secara sukarela.

Kemiskinan dan banyaknya pengangguran di Indonesia sebagai problema sosial yang tak kunjung usai, juga menjadi salah satu perhatian kami. Lalu muncul ide, untuk memberi keterampilan menulis pada berbagai kalangan yang memang berminat dan membutuhkan. Bukankah tingkat peradaban suatu bangsa akan semakin tinggi bila banyak orang yang membaca dan menulis di negeri tersebut?  Karena itu kemudian keanggotaan FLP benar-benar terbuka. Siapa pun boleh bergabung, dan kelak bila ia benar-benar menjadi penulis, ia mempunyai tugas pula untuk membimbing mereka yang belum menjadi penulis.

Saat itu banyak yang mencemooh kami, bahkan meledek FLP sebagai “mualaf sastra”. Apalagi saat kemudian FLP tak pilih-pilih, dan juga membina para anak jalanan, para pembantu rumah tangga atau mereka yang sedang berada dalam penjara.

“Menulis itu pekerjaan kaum intelek dan sakral. Tidak bisa sembarangan!” kata seorang sastrawan senior,  memarahi saya.

Saya percaya keahlian menulis itu gifted, seperti kata Sutardji Calzoum Bachri, namun saya juga yakin bahwa sampai pada tahap tertentu menulis itu bisa diajarkan melalui berbagai tahap latihan. Saya dan FLP  tak akan pernah bisa mencetak seseorang seperti Sutardji atau Goenawan Mohammad, namun bisa memotivasi dan mengajarkan menulis pada siapa pun yang memiliki tekad dan mau latihan agar ia memiliki skill yang kelak bisa menambah kualitas kehidupannya.

Setiap minggu FLP di berbagai wilayah, cabang maupun ranting, mengadakan berbagai kegiatan. Mereka juga mengelola Rumah Cahaya (Rumah baCA dan HAsilkan karYA) yang secara bertahap didirikan di berbagai FLP wilayah. Kami juga memberi perhatian pada anak-anak dengan membuka FLP Kids di beberapa cabang FLP sejak tahun 2000. FLP Kids kemudian menjadi motor kebangkitan penulis cilik di Indonesia, dengan program Kecil kecil Punya Karya (KKPK) yang digagas pengurus FLP Ali Muakhir bekerjasama dengan Penerbit Mizan.

M Irfan Hidayatullah, cerpenis dan Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia UNPAD pada Munas FLP Februari 2005 terplih sebagai Ketua Umum FLP Pusat menggantikan saya. Tahun 2009, Setiawati Intan Savitri, terpilih sebagai ketua umum FLP yang ketiga.
Dalam deklarasinya, komunitas FLP menganggap karya sastra berperan penting dalam proses pencerahan, termasuk turut mengambil bagian dalam mengatasi kerusakan ahlak masyarakat.

Dengan demikian, para anggota FLP mempunyai kesepakatan sebagai berikut:

(1). Menulis demi kemaslahatan, tanpa mengabaikan estetika. Artinya, karya anggota FLP selalu dalam kerangka kebaikan dan manfaat. Karyanya tidak boleh menambah buruk keadaan masyarakatnya.

(2) Bertanggung jawab atas apa yang ditulis (pengarang tak pernah mati). Seluruh anggota FLP bertanggung jawab atas karya mereka bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat. Pada saat karya tersebut menjadi “milik publik”, pengarang tetap “hidup” dan siap bertanggung jawab atas karyanya. Teks dan pengarang menjadi suatu kesatuan yang sukar untuk dipisahkan.

(3) Pengarang sebagai teladan masyarakat.
Menurut Maman S. Mahayana dan Joni Ariadinata, ketika masyarakat masih terperangkap pada pandangan bahwa dunia sastra dan kehidupan sastrawannya adalah dunia yang penuh kebebasan, urakan, eksentrik, atau berada di ”menara gading”  dan pelbagai pandangan ”buruk” lainnya, FLP menampilkan diri dengan citra yang sebaliknya. Di sinilah keteladanan menjadi penting dalam membangun citra sebuah organisasi atau komunitas.

Data yang berhasil dihimpun pada tahun 2008 menunjukkan bahwa FLP telah beranggotakan lebih dari 7000 orang, menghasilkan lebih dari 1000 judul buku, bekerjasama dengan 50 penerbit dan memiliki cabang di 125 kota di Indonesia dan mancanegara. Republika menulis bahwa bagaimana pun FLP membawa fenomena baru dalam penulisan sastra kontemporer dan peduli terhadap kemunculan penulis baru dari berbagai kalangan di Indonesia. Karya-karya FLP juga mendapat perhatian dan penghargaan dari para peminat sastra. 

Harian The Straits Times yang terbit di Singapura menyebut FLP sebagai kelompok fenomenal yang terus menerus melakukan training, workshop dan aneka kegiatan lainnya tanpa henti untuk mendukung lahirnya penulis baru.
Koran Tempo bahkan menjuluki pendiri dan Ketua Umum FLP sebagai ‘Lokomotif Penulis Muda Indonesia’. Berbagai kalangan di Indonesia sepakat bahwa Forum Lingkar Pena telah memberikan sumbangsih dan kontribusi berarti dalam dunia kesusastraan Indonesia.
Selain itu FLP telah turut memberdayakan ekonomi para anggotanya ketika karya-karya mereka dimuat di media massa dan diterbitkan secara nasional.
Taufiq Ismail menyebut FLP sebagai hadiah Tuhan untuk Indonesia.

Sumber: https://sastrahelvy.com/

2 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.