Cerpen | Sang Imam

Karya Rikhsan Kurniatuhadi

Allahuakbar….
Allahuakbar….
Dung-dung, tak-tak, cis……….
Aku mempercepat irama permainan drumku.
Ashaduanlaailaahaillallaah....
Ashaduanlaailaahaillallaah....
Suara itu terdengar lagi, aku semakin mempercepat irama permainanku. Ku tabuh drumku sekencang-kencangnya hingga suara drumku menutupi suara yang berasal dari TOA di sebuah bangunan tepatnya beberapa rumah, disamping rumah tempatku bermain.
    ”Edward, berhenti dulu. Masjid kompleks lagi azan!” pekik Briz.
    Aku tidak menghiraukan apa yang diserukan Briz, teman satu bandku. Aku semakin memacu permainan drumku.
    ”Edward!!”
    Aku menghentikan permainanku. Kali ini teriakannya cukup kuat.
    ”Apa?” tanyaku.
    ”Sinting kamu ya, orang itu lagi azan. Ya berhenti dululah” jawab Briz dengan sedikit serius.
    ”Biasa aja kali, azan ya azan pastinya kan aku nggak ngelarang mereka untuk azan” protesku sambil memutar-mutar stick drum yang baru aku beli sekitar seminggu yang lalu.
    ”Kamu itu, kita ini sudah nggak sholat, ribut lagi. Walaupun kita nggak sholat tapi berikan hormat dengan tetangga yang mau sholat. Awas ya, kalau aku dimarahi gara-gara aku di adu ama tetangga sebelah”
    ”Ok” jawabku singkat.
Brizza pun pergi.
    ”Mau kemana? Mau sholat?” tanyaku dengan niat hati sedikit meledek.
    ”Nggak, mau ke toilet. Kenapa?” tanya Briz balik.
    ”Kirain mau sholat, kalau mau sholatkan aku mau titip DHK, izin sholat dengan Tuhan. Soalnya aku lagi capek”. Ucapku dengan selingan tawa kecil.
    ”Kampret, kualat kamu sama Tuhan”.
***
    Namaku Edward Ar Ridwan, seorang remaja berumur 17 tahun yang berasal dari keluarga berkecukupan, bahkan lebih. Ayahku seorang muallaf berasal dari roma dan ibuku adalah orang asli Pontianak, Indonesia. Kami adalah keluarga muslim, tapi aku berfikir kalau kami sebenarnya adalah muslim semu, alias muslim KTP. Aku tahu kalau aku beragama Islam hanya dari mengisi biodata dan pelajaran sekolahku yang berlangsung setiap minggu dari aku SD hingga SMA sekarang, dan aku adalah siswa yang selalu mendapat nilai jelek dalam mata pelajaran tersebut. Dari kecil jika aku mengisi biodata dari sekolah, kolom agama yang aku tulis adalah Islam karena Ibu bilang agamaku Islam. Kulihat di KTPku pun bertuliskan kata Islam. Aku memang Islam, tapi aku tidak tahu Islam itu apa.
    Isinya.......
    Ajarannya.....
    Aturannya.....
    Semuanya.....
    Entah mengapa aku seperti itu. Mungkin saja orang tuaku yang selalu sibuk dengan usaha bisnisnya sehingga tidak memiliki waktu sedetikpun untuk mengajarkan kepadaku apa itu Islam, atau aku juga yang terlalu cuek dan tidak mau tahu apa yang di ajarkan guru agama Islam di sekolah....
Atau apalah...
    Yang aku tahu adalah bagaimana mencapai obsesiku menjadi seorang drummer terkenal dan berkelas seperti Tio Nugros. Untuk itu, aku bersama Brizz, El, Syarif dan  mendirikan sebuah band yang bernama The Savior. Biasanya kami latihan dirumah Brizz yang memiliki peralatan cukup lengkap. Disana kami bisa bermain band dengan sesuka hati, tidak mau tahu tentang waktu. Apalagi dalam hal ibadah. Tidak pernah terpikir.
***
    ”Rif, sudah pukul berapa sekarang?” tanya El sang pemetik bas.
Syarif langsung melihat jam digital yang terpakai di tangan kirinya.
    ”Pukul 01.47”. jawabnya.
    ”Gimana nih bos, pulang nggak kita?” tanya El kembali, tapi kini kepadaku. Karena aku paling tua bulan lahir dari ketiga temanku yang lain, makanya aku dipanggil bos.
    ”Menurut lo Rif?” tanyaku sambil menonton film G.I Joe yang dibeli Brizz beberapa hari yang lalu.
    ”Nginap sajalah, jam segini aku sudah dikunciin” jawab Syarif dengan pasti.
    ”Ya sudahlah aku juga” ucap El.
    “Gimana Brizz, kamu yang punya rumah?” giliranku bertanya lepada Brizz.
    Brizz menepuk bahuku.
    “Kayak nggak pernah nginap disini aja. Ya boléh lah!”
    “Ok, kita nginap di sini malam ini” ucapku singkat.
    Aku, Sharif dan El memang sering nginap di rumah Brizz. Bukan hanya karena kami keseringan telat pulang akibat bermain band seharian, tetapi juga orang tua Brizz yang sering keluar kota. Jadi kami merasa bebas dalam melakukan apapun, apalagi bermain band. Hanya saja jika tetangga Brizz yang punya mulut embernya minta ampun itu baru kami dimarahi oleh Ayahnya Brizz. Tapi kami tidak pernah kapok hingga sekarang, kami terus bermain dan mengganggu.
    ”Edward, aku tidur duluan. Mataku sudah tinggal lima wat lagi. Kalau sudah selesai nonton tolong dikemasin ya DVD nya” ucap Brizz sambil menguap dengan mulut yang terbuka lebar. Aku hanya menganggukkan kepala. Kulihat mata brizz sudah merah dan tidak kuat lagi menahan rasa kantuk yang menyerang. Tidak perlu waktu yang lama ia sudah terlelap, begitu juga Syarif dan El yang sudah duluan tertidur. Aku melanjutkan menonton film G.I.Joe yang aku putar, sebuah film action dengan teknologi persenjataan mutakhir sebagai latar ceritanya. Aku semakin terlarut dengan film itu sampai-sampai akupun tidak sadar jika mata ini telah terlelap.
***
Allahuakbar....
Allahuakbar....
”Bang, bangun bang sudah zuhur”
Kudengar sebuah suara anak kecil masuk kedalam telingaku dan menggetarkan gendang telingaku  setelah kudengar azan pertama kali. Aku tidak mengangkat kepalaku. Samar-samar kudengar suara itu menjauhiku dan aku kembali melanjutkan tidurku.
Laailaahaillallaah.....
”Bang...bangun bang, azan sudah selesai tuh”
Kudengar suara anak kecil itu lagi. Kali ini bukan hanya suara itu yang membuat aku terbangun, tetapi ia juga menggoyang-goyangkan badanku. Aku membalikkan tubuhku dan membuka mataku. Kulihat seorang anak kecil berjenis kelamin laki-laki berumur sekitar delapan tahun.
”Abang temannya Bang Brizz ya” tanya anak laki-laki berkuli putih dan berambut hitam lurus itu.
”Iya” jawabku singkat.
”Nama Abang, siapa?” tanya anak itu lagi.
”Edward” jawabku sambil menguap.
”Oh Bang Edward, ayo bang bangun kita sholat zuhur. Kawan abang yang lain susah dibangunin, kata Ibu asna nggak baik kalau menunda sholat”.
”Siapa tu Bu asna?” tanyaku dengan kepala yang masih melekat dibantal.
”Guru agama Aris di sekolah” jawabnya singkat.
”Oh” jawabku dan melanjutkan tidur lagi.
”Bang ayo bang, kita imaman. Abang jadi imam” ucapnya dengan sedikit memaksa.
”Hemm...duluan saja” jawabku tanpa memandangnya.
Anak kecil yang bernama Aris itu kemudian pergi meninggalkanku. Ia tampak menyerah terhadapku. Aku menoleh ke arahnya, aku lihat ia pergi meninggalkan kamar ini.
    Tiba-tiba saja aku penasaran dengan anak yang bernama Aris itu. Aku beranjak dari tempat tidur dan mengintip dari tepi pintu. Kulihat wajahnya dengan seksama.
    ”Ya Tuhan” pekikku pelan.
    Kulihat matanya yang kecil dengan arah fokus yang tidak beraturan, atau bahasa kasarnya juling. Kepalanya botak dan berbadan kurus, cara ia berjalan terlihat seperti manusia yang baru belajar berjalan.
    ”Edward...ada apa?”.   
    Pertanyaan Brizz mengagetkanku.
    ”Nggak, tadi ada anak kecil. Itu siapa?” tanyaku.
    “Siapa?” tanya Brizz balik.
    “Ya mana aku tahu”.
    Brizz keluar dan melihat anak kecil itu.
    “Oh itu. Aris, sepupu jauh aku. Kenapa?”
    ”Nggak, tadi ngajak aku sholat. Kenapa penampakannya seperti itu? Menyeramkan.” ucapku penasaran.
    ”Sial, memangnya dia setan” ucap Brizz protes.
    “Terus kenapa?” tanyaku penasaran.
    “Sakit”.
    “Sakit apa?”
    “Kanker otak, dulu dia nggak kayak gitu”.
    Aku terdiam. Terkejut atau apalah. Aku merasakan ngilu di bagian ulu hati, melihat anak kecil yang rusak fisik karena penyakit yang sangat ditakuti seperti itu. Aku melihat ia mengambil sajadah, ia sholat bersama seorang perempuan yang terlihat berumur 30 tahunan. Ia menjadi imam, membaca surat Alfatihah dan surat pendek dengan sedikit terbata. Mataku tiada berkelit kemanapun melihat ia sholat bersama perempuan itu.
    ”Kenapa sih kamu, diam gitu?”
    Brizz mengagetkanku lagi.
"Kok aku nggak tahu ada sepupumu yang sakit seperti itu?“
“Baru datang dari kampung, baru dua kali datang ke sini, ke sini cuma mau pengangkatan tumor empat hari lagi“.
“Kapan dia datang?“
“Tadi pagi mungkin, kitakan tidur“.
”Oh..” ucapku.
”Apa sih, Whatever lah. Aku mau tidur lagi” ucap Brizz yang masih sangat kelihatan mengantuk.
Aku melihat anak yang bernama Aris itu terus hingga ia menyelesaikan sholatnya. Ia tampak terlihat berdoa setelah itu. Aku mendengarkan doa yang ia lantunkan. Pendek, tetapi sangat jelas terdengar.
“Ya Allah, Aris ingin menjadi seorang imam sholat, kayak Kek haji di kampong. Kabulkanlah Ya Allah. Amin”
“Amin” jawab ibunya yang membantu mengaminkan.
Aku terdiam melihatnya. Sekali lagi entah apa yang aku rasakan, kasihan kah, ngeri kah, atau takut, kurasa semua menjadi satu ketika aku melihat anak yang bernama Aris ini. Belum ada yang membuat perasaanku seperti ini walaupun aku sering melihat orang-orang diluar yang cacat dan tidak berdaya. Entah.
Tiba-tiba saja Aris melihatku ketika ia sedang melipat sajadahnya. Ia tersenyum kepadaku dan berkata:
“Mau sholat Bang?”
Aku hanya membalas senyumannya. Tapi aku tidak berniat untuk sholat.
Tak lama terdengar suara jeritannya, menyebut nama Tuhan “ALLAH”. Sepertinya kepalanya sakit, kemudian terdengar suara seperti muntah.
Aku merinding!

***

    Enam hari setelah hari aku bertemu dengan anak kecil yang bernama aris itu, aku menjadi insomnia. Sama sekali terjaga berjam-jam hingga datangnya sepertiga malam. Aku teringat terus dengan wajahnya, fisiknya yang berantakan apalagi wajahnya. Entah mengapa semenjak hari itu aku menjadi lebih diam dari biasanya. Stik drum belum ada aku pegang, bahkan main band distudio atau dirumah Brizz pun tidak. Semua itu tidak ada terlintas di otak untuk dilakukan. Aku kepikiran dengan kanker yang bersarang di otak Aris itu, apakah ia masih bisa diselamatkan.
    Kuambil Hp ku dari atas meja Belajarku. Aku SMS pamanku yang kebetulan seorang dokter di Rumah sakit Bunda Jakarta. Lalu kami berkomunikasi lewat SMS.
    “Om, orang yang kena kanker otak itu bisa sembuh gak?”
    ”Tergantung stadiumnya gimana”
    ”Matanya juling parah, responnya lambat, kurus, sakit kepala hingga menjerit dan muntah”
    ”Parah itu. Emangnya siapa?”
    ”Tanya aja Om!”
    ”Waduh, gimana dengan Aris sekarang” batinku.
    Sejak pertemuan itu aku tidak ada pergi kerumah Brizz lagi, ngeband pun tidak. Aku mencoba menelfon Brizz untuk menanyakan kabar Aris, tapi handphone Brizz tidak aktif. Kucoba lagi menelfon dia berkali-kali tapi tetap tidak aktif. Aku menyerah. Kulihat jam dinding kamarku menunjukkan pukul 09.46, dari arah jendela tampak cuaca sangat cerah, terlihat beberapa berkas cahaya menembus kaca jendela dan masuk kekamarku dengan membentuk suatu bentuk bercahaya di dinding. Aku keluar kamar dan berniat pergi ke rumah Brizz sekarang. Aku mengendarai mobilku dengan kencang, hati ini berkata aku harus bertemu dengan Aris. Hati kecil ini juga mengatakan aku ingin seperti anak itu, peduli dengan agama dan menjadi imam. Imam bagi diriku sendiri dan imam bagi keluargaku kelak. Bertemu Aris membuatku merasa takut mati dalam keadaan seperti ini, keadaan dengan membawa berton-ton dosa. Aku juga mulai merinding dengan kata NERAKA yang terlintas di dalam benakku.
    Mobilku telah tiba di jalan Kompleks rumah Brizz. Dari kejauhan kulihat serombongan orang berpakaian hitam yang sedang menguburkan mayat di samping masjid dekat rumah Brizz. Hatiku mulai deg-degan hebat. Aku memarkir mobilku tanpa melihat lagi rumah siapa yang aku pinjam. Aku turun dari mobil, dari serombongan itu kulihat Brizz di bagian tengah barisan. Aku menghampirinya.
    ”Aris” tanyaku pelan.
    ”Iya, meninggal tadi malam”
    Aku hanya diam sambil melihat pusara yang sedang didoakan itu. Hatiku ingin menangis, bukan karena orangnya tapi karena takwanya yang kulihat waktu itu. Aku merasa orang seperti Aris harus hidup lebih lama untuk mengajak orang bertakwa. Aku merasa malu pada diriku sendiri yang sudah berumur 17 ini tidak pernah mengejar dan mengajak untuk taqwa. Air mataku pun menetes di pusara itu.
    ”Selamat jalan sang Imam, aku juga akan berusaha seperti dirimu.
      Aris.”

oleh: Rikhsan Kurniatuhadi
No. Telpon    : 085245675976/ (0561) 692592

1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.