Unbelievable !

(Kisah antara Daffort dan Lindy)

Satu

Pagi ini tampak cerah di pelupuk mata Lindy. Ia memandang kota Freshland dengan senyum manis yang tersungging di bibirnya. Freshland merupakan sebuah tempat yang sangat indah. Dipimpin oleh raja dan ratu yang baik pula. Seperti biasa, Lindy harus membantu ibunya memerah susu sapi yang berada tak jauh dari rumah Lindy. Mata pencaharian ibu Lindy adalah menjadi seorang penjual susu murni. Lindy sendiri yang biasanya mengantarkan susu hasil perahan ibunya itu kepada pelanggan.

Matahari pagi masih belum terlalu nampak. Hanya seberkas cahaya keemasan yang baru muncul. Membias ke hijaunya padang rumput di sekitar rumah Lindy yang juga terdapat peternakan. Sungguh lingkungan yang masih alami. Tidak ada polusi, tidak ada suara bising kendaraan bermotor ataupun suara mesin dari pabrik. Semuanya masih berbau alam. Lindy sangat senang tinggal disana. Keadaan itulah yang membuat tempat itu diberi nama Freshland yang artinya daratan yang segar atau lebih akrabnya tempat dimana semuanya masih belum terkontaminasi oleh hal-hal yang berbau polusi maupun limbah. Udara paginya juga masih sangat segar dihirup oleh kedua lubang hidung. Sejauh mata memandang, hamparan hijaunya rerumputanlah yang tampak. Bukan jalanan macet dengan polusi menghiasi di sekitarnya.

Pagi ini Lindy akan pergi ke kota untuk mengantarkan pesanan susu sapi sebanyak dua puluh botol ke kota. Tepatnya di tengah kotanya, di Naritha City. Lindy biasanya naik sepeda untuk pergi kesana. Karena menurutnya, tempat tinggalnya juga tak terlalu jauh ke Naritha. Walaupun bagi ibu Lindy, nyonya Teresa, Naritha City itu sangat jauh jika ditempuh menggunakan sepeda. Tapi Lindy terus memaksa agar ibunya mengijinkannya untuk mengantarkan susu ke Naritha.

Ibu Lindy kerap kali merasa kasihan melihat anaknya yang harus ikut bekerja banting tulang semenjak ayahnya tiada. Ayah Lindy meninggal ketika Lindy berusia delapan tahun karena mengidap penyakit hemofilia. Sungguh Lindy kecil yang malang. Tapi Lindy tak pernah bersedih terlalu berlarut-larut. Karena baginya, jika ayahnya melihatnya saat ini sebagai anak yang mandiri, maka ayahnya akan tersenyum bangga, bukan menangis sedih karena meninggalkannya.

”Ibu, apakah susu yang akan kuantar cukup segini?” tanya Lindy sambil menaikkan susu hasil perahan ibunya ke atas kotak besar tempat susu yang diikat di boncengan sepedanya.

”Cukup, Nak. Itu sudah pas dengan pesanan Tuan Daffort, yaitu sepuluh botol susu dan pesanan Nyonya Alberthein sepuluh botol. Apa kau yakin akan mengantarnya?” tanya ibu Lindy meyakinkan.

”Ibu, apa Ibu belum tahu kemampuanku. Aku ini anak perempuan yang tidak manja, Ibu.” kata Lindy sambil membusungkan dadanya dan berkacak pinggang.

Nonya Teresa hanya tersenyum bangga dan pastinya terharu akan sikap Lindy. Setelah mengenakan sepatu boots pemberian mendiang ayahnya, Lindy pun mengayuh sepedanya dengan santai menuju Naritha City yang berjarak sepuluh kilometer dari tempatnya tinggal. Lindy bernyanyi-nyanyi senang ketika mengayuh sepeda. Sama sekali tak ada guratan kebosanan, kemalasan, ataupun rasa letih di wajah Lindy. Seakan-akan ia hanya bersepeda santai tanpa membawa beban berat. Padahal, yang sekarang dibawanya kurang lebih sepuluh liter susu murni.

Akhirnya, sampailah ia di Naritha City .

“Akh, sekarang aku hanya tinggal mencari alamat Tuan Daffort dan Nyonya Alberthein. Kira-kira, dimana ya?” pikir Lindy.

Tiba-tiba…

“Zreesssh!!!” Suara mobil yang melaju sangat kencang nyaris menyerempet tubuh Lindy yang mungil. Tapi masih belum terserempet, karena lebih dulu ada seseorang yang menarik tubuh Lindy ke trotoar. Entah siapa, Lindy pun tidak mengenalnya. Laki-laki itu tiba-tiba saja datang entah dari mana dan hendak kemana kah ia sampai bisa dan sempat menyeret Lindy sebelum mobil itu yang menyeret tubuh Lindy. Lindy sebenarnya ingin mengucapkan terima kasih pada laki-laki itu, tapi ia sudah berlalu melihat tubuh Lindy yang tidak bermasalah.

“Hei! Tunggu! Siapa namamu? Terima kasih ya, telah menolongku!” teriak Lindy yang hanya dibalas senyum sekilas oleh laki-laki misterius itu. Ia kemudian berlalu meninggalkan Lindy dan sepedanya.

”Ah, laki-laki itu keren sekali. Ia telah menolongku. Pasti ia bukan orang sembarangan. Penampilannya saja sudah seperti orang kaya begitu. Ah, sudahlah. Aku tak boleh berharap yang tidak-tidak. Yang penting sekarang aku selamat dan bisa kembali mengantarkan susu-susu pesanan ini.” kata Lindy lirih.

Lindy terus menyusuri dari jalan satu ke jalan yang lain tanpa kenal lelah. Lindy terus mencari hingga jam kota menunjukkan tepat pukul sembilan. Padahal dari pagi perut Lindy belum terisi sebutir nasi. Tapi Lindy tetap berusaha mencari alamat itu. Alamat kali ini memang bukan langganan biasanya, mungkin pelanggan baru. Sekitar sepuluh menit mencari, akhirnya ditemukan juga! Komplek Renville blok O nomor 8.

”Tok! Tok! Tok! Permisi.” Lindy mengetuk pintu gerbang yang tingginya hampir setinggi gerbang istana. Waah! Ini rumah orang kaya, batin Lindy.

Pintu gerbang pun terbuka dengan sendirinya. Lindy sedikit heran, karena baru kali ini ia melihat pemandangan yang baginya menakjubkan. Gerbang sebesar itu bisa terbuka sendiri. Padahal, semua itu karena adanya remote control yang digunakan si pemilik rumah supaya tidak perlu lagi keluar melihat siapa yang datang.

”Permisi...” Lindy mengucapkan salam untuk yang kedua kalinya. Karena tak ada jawaban, Lindy memutuskan untuk pergi. Ia meletakkan susu pesanan itu di depan pintu rumah Tuan Daffort tersebut. Tapi tiba-tiba,,,

”Terima kasih, Nona. Maaf tadi tidak menjawab salam.” kata seseorang di belakang Lindy yang terdengar begitu mantap. Lindy pun berbalik dan hendak mengucapkan sama-sama. Namun suaranya tiba-tiba tercekat di tenggorokan karena melihat wajah bersinar dari seseorang yang berdiri di hadapannya sekarang.

”I..ii..i..ya, sama-sama.” kata Lindy terbata-bata. Seharusnya Lindy tidak seperti itu, entah kenapa wajah itu yang ternyata Tuan Daffort sendiri membuat suara Lindy tergagap dan tercekat di tenggorokan. Setelah membayar uang susunya, Lindy pun meninggalkan rumah Tuan Daffort.

Lindy kembali mengayuh sepedanya. Kini Lindy tak perlu bingung mencari alamat Nyonya Alberthein, karena sama-sama di komplek Renville, hanya beda blok saja. Nyonya Alberthein tinggal di blok J nomor 8. Sekitar empat jalur lagi yang harus dilewati Lindy. Sambil mengayuh sepedanya, Lindy terus membayangkan wajah Tuan Daffort yang tadi baru saja ditemuinya. Ah, aku bukan siapa-siapa. Jauh berbeda dengan Tuan Daffort yang kaya raya itu. Sudahlah, Lindy... Kau terlalu banyak mengkhayal! Lindy berkata pada dirinya sendiri. Lalu ia geleng-geleng kepala mengingat apa yang baru saja melintas di kepalanya. Tuan Daffort!

***

Setelah mengantar duapuluh botol susu, Lindy memutuskan untuk langsung pulang ke rumahnya karena ia masih belum mengerjakan tugasnya yang lain. Biasanya Lindy memberi makan hewan-hewan yang ada di peternakannya. Seperti sapi, kambing, domba, dan keledai. Juga memandikannya. Keledai hanya digunakan tenaganya untuk membawa rumput atau jerami. Keledai tidak diambil susu maupun dagingnya. Sedangkan untuk sapi perah, sudah jelas diambil susunya. Domba untuk persediaan susu jika si sapi masih belum bisa menghasilkan susu yang banyak sedangkan pesanan cukup banyak. Selain itu, juga dimanfaatkan bulunya yang hangat untuk pakaian semacam sweater.

”Bagaimana perjalananmu hari ini, Lindy?” tanya ibu Lindy sambil memberi minum sapinya. Sementara Lindy sedang membersihkan bulu domba dengan alat khusus.

”Ah, biasa saja, ibu. Hanya sedikit kesal karena saat mengantar pesanan Tuan Daffort, ia lama sekali keluar. Tapi, aku juga senang ibu. Ketika kusangka Tuan Daffort itu sudah tua, keriput, dan rapuh ternyata salah besar! Ia begitu gagah! Suaranya sangat keren, ibu.” Lindy tersenyum ketika menceritakan tentang Tuan Daffort kepada ibunya.

”Wah, betapa senangnya hatimu saat ini, Lindy. Bukankah begitu?” tanya ibu lagi. Sebenarnya hanya basa-basi. Ibu mana yang tidak mengetahui mimik muka anaknya yang sedang kegirangan.

Lindy hanya tersenyum dan mengangguk. Ia meneruskan pekerjaannya supaya cepat selesai. Ibu Lindy kembali ke dalam rumah. Ia harus mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Seperti mencuci piring, menyapu, dan mengepel.

Setelah selesai membersihkan bulu domba, Lindy menuju ke dalam rumah untuk mandi. Karena hari sudah sangat siang dan terasa panas. Walaupun tadi pagi ia sudah mandi. Tapi kali ini, Lindy ingin mandi lagi karena badannya terasa gerah. Ia mengambil peralatan mandinya dan segera menuju sungai yang mengalir deras dengan batu-batuan besar di tengah-tengahnya. Memang disitulah Lindy biasa mandi. Walaupun sungai, airnya sangat jernih. Tak pernah tersumbat, alirannya selalu deras, airnya pun sangat jernih dan segar. Maklum, peternakan dan rumah Lindy dekat dengan gunung yang masih aktif. Tentu saja tanah di sekitar rumah Lindy sangat subur. Jadi sangat bagus untuk pertumbuhan pohon-pohon dan rerumputan.

***

Lindy mandi sambil bernyanyi riang di sungai. Ia berulang kali memercikkan air ke tepi sungai. Lindy sangat menikmati dingin dan segarnya air dari sungai. Sementara di sungai Lindy sedang mandi, tidak demikian denga Tuan Daffort. Ya! Dia adalah salah satu pelanggan Lindy yang membuat Lindy berbicara dengan terbata-bata karena kegagahannya dan kemantapan suaranya.

Daffort Hitler, nama asli dari Tuan Daffort sedang berdiri di dekat jendela kamarnya sambil menikmati susu hasil perahan sapi dari peternakan milik Lindy. Daffort masih membayangkan wajah sang pengantar susu yang datang ke rumahnya pagi-pagi. Ternyata wajah natural Lindy juga mampu memikat hati seorang Daffort!

”Gadis itu sungguh memukau. Pakaiannya sederhana dan wajahnya juga tidak dipoles bedak tebal, seperti kebanyakan wanita yang ingin bertemu denganku. Ia sungguh-sungguh anak yang polos dan sungguh luar biasa dalam pandanganku. Matanya menatapku dengan penuh. Suara saat ia mengucapkan permisi sungguh lembut terdengar di telingaku. Ah, ada-ada saja aku ini! Bukankah aku adalah orang yang lebih dari pada dia? Aku punya segalanya, sedangkan dia? Hanya pengantar susu yang bisanya hanya merayu laki-laki sepertiku. Ah, sudah! Lupakan, Daffort... Lupakan...” Daffort tiba-tiba merasa telah membohongi dirinya sendiri. Ia juga tetap menjaga gengsinya untuk mengakui bahwa ia sebenarnya menyukai penampilan sederhana Lindy.

Sore ini, Claurella, pacar dari Daffort Hitler akan datang menuju rumahnya untuk mengadakan makan malam bersama. Mereka akan merayakan kemenangan ayah Daffort dalam perlombaan balap kuda. Itu menunjukkan bahwa walaupun sudah tua, ayah Daffort masih tetap bisa mengendarai kuda sambil berlomba-lomba dengan kecepatan yang bukan main. Nyaris seperti mobil balap!

”Tok! Tok! Tok!” suara pintu kamar Daffort diketuk seseorang dari luar.

”Siapa?” tanya Daffort masih dari dalam kamarnya memandang lukisan karya pelukis terkenal dari Perancis yang ia beli sekitar tiga bulan yang lalu.

”Ada surat dari Claurella, Daffort. Keluarlah. Sepertinya kau berubah sikap padanya. Sampai-sampai ia mengirim surat padamu.” ternyata itu suara Ibu dari Daffort yang ingin menyampaikan surat dari Claurella, pacar Daffort.

”Letakkan saja di depan pintu kamarku. Pasti aku membacanya. Terima kasih, Bu. Aku sama sekali tidak berubah.” Daffort masih juga tidak mau keluar dari kamarnya. Ia masih tetap asyik dengan kegiatannya. Matanya menyapu bersih seisi kamar. Semua yang tampak di matanya sungguh indah. Padahal, ini bukan kali pertama ia melihatnya.

”Ya, sudah. Kalau itu yang terbaik untukmu, Ibu letakkan surat dari Claurella di depan pintu kamarmu. Ingat! Bacalah surat darinya, siapa tahu itu penting.” Ibu Daffort berlalu meninggalkan kamar Daffort menuju dapur untuk menyuruh koki rumah memasak hidangan spesial untuk makan malam nanti yang akan dihadiri dua keluarga besar. Yaitu, keluarga besar Daffort Hitler dan keluarga besar Claurella Cambridge.

***

”Lindy, ibu rasa kau tidak tepat melakukan pekerjaan ini. Setiap pagi kau harus memberi makan domba, keledai, sapi, dan kambing. Setelah itu kau juga harus mengantarkan pesanan susu ke kota. Pulangnya, kau harus membersihkan badan hewan-hewan. Kau perempuan yang masih sangat muda, tapi kerjamu sudah seperti orang yang berpengalaman bekerja. Ibu salut denganmu, nak. Apakah kau tidak ingin hidup seperti kebanyakan gadis kota? Yang selalu dimanja, disukai banyak laki-laki, juga menjadi anak yang cantik dan bersih.” Ibu Lindy berkata panjang lebar pada Lindy sambil mengelus-elus rambut Lindy yang sengaja diurai. Cantik sekali! Beda dari Lindy yang biasa mengantar susu yang berpenampilan tomboy tapi tidak keterlaluan.

”Maksud ibu, aku jelek dan kotor? Begitu?” tanya Lindy tidak mengerti apa yang dari tadi ibunya katakan. Mungkin karena tidak mengarah pada inti, membuat Lindy yang tidak suka basa-basi menjadi tidak paham dengan apa yang ibunya katakan.

”Bukan seperti itu. Maksud ibu adalah, apakah kau tidak ingin selalu mengenakan pakaian yang indah dan tata rias yang anggun. Juga memiliki barang-barang yang serba ”wah!” seperti anak gadis seumuranmu?” tanya Ny.Teresa pada Lindy.

“Ah, ibu ada-ada saja. Aku bukan anak yang suka minum susu lewat botol dengan karet di atasnya sebagai perantaranya. Maksudku, aku bukanlah anak yang manja dan ingin dimanjakan. Aku merasa senang dengan apa yang aku dapatkan sekarang. Bahkan, aku sangat bersyukur pada Tuhan karena telah diberikan kesempatan untuk hidup sebagai pengantar susu. Jika aku tidak menjadi pengantar susu, pasti aku tidak akan hidup seperti sekarang, bahkan bisa saja aku menjadi anak yang penyakitan karena harus melakukan operasi pelastik pada bagian tertentu pada tubuhku untuk memikat para laki-laki seperti yang terjadi di kalangan remaja seumuranku sekarang. Memangnya, kenapa Ibu bertanya seperti itu padaku?” tanya Lindy tidak mengerti.

“Ah, tidak apa-apa. Ibu bangga memiliki anak sepertimu. Tidak pernah manja, juga tidak pernah menyusahkan orang tua. Ibu benar-benar bangga telah memiliki anak sepertimu, Lindy.” Ibu memeluk Lindy dengan erat lalu melepaskannya dan mengecup kening Lindy. Lindy tersenyum lalu mengucapkan terima kasih pada ibunya.

”Terima kasih, Ibu. Aku tak akan bisa seperti ini jika aku tidak dididik oleh orang tuaku yang sangat menyayangiku dan sangat kusayangi. Ya, walaupun tanpa ayah.” Lindy tersenyum lebar. Ia sangat bahagia terlahir sebagai Lindy yang sekarang ini. Walaupun ia hanya seorang pengantar susu, tapi semangat hidupnya sudah menyerupai seorang pengusaha kaya yang tinggal duduk di sofa empuk menunggu datangnya uang. Itulah sosok Lindy yang sederhana, rajin, juga patuh pada orang tuanya. Sifat seperti itu patut sekali untuk kita contoh. Karena dengan begitu, kita akan menjadi anak yang berguna dan bermanfaat bagi orang. Bukankah hidup kita untuk menjadi orang yang berguna bagi semua orang? Tapi, untuk digaris bawahi, bukan sekedar dimanfaatkan dalam artian segalanya kita. Tapi, berguna dan bermanfaat bagi orang lain adalah kita selalu ada dan bisa disaat orang membutuhkan kita.

***

Dua

Malam ini, akan ada acara makan malam dua keluarga besar di rumah Daffort Hitler. Ia mengundang keluarga Claurella Cambridge. Sebenarnya, ini hanya pertemuan makan malam biasa, tapi ibu dari pihak Daffort yaitu Mrs. Jullie menginginkan adanya suatu ikatan diantara putra kebanggaannya dan Claurella. Ya, semacam pertunangan. Dan pada akhirnya, Daffort hanya bisa setuju dengan apa yang diinginkan sang Ibu. Malam ini adalah malam pertunangan Tuan Daffort Hitler dan Nona Claurella Cambridge yang sangat anggun.

”Ibu...” panggil Daffort.

”Ada apa? Tingkahmu masih seperti anak kecil sekali, Daff.” Daffort terbiasa dipanggil Daff untuk mempersingkat namanya. Daffort memang masih sedikit manja pada kedua orang tuanya karena memang ia adalah anak bungsu di keluarganya. Sedangkan kakak-kakaknya perempuan semua ada dua orang yang berparas cantik seperti ibu mereka. Sedangkan Daffort berwajah tampan dan tubuh tinggi semampai seperti ayahnya.

”Apa Ibu tidak memikirkan diriku yang merasa kurang pantas untuk bertunangan dengan Claurella. Ibu tau, aku sangat manja. Sedangkan ia, sepertinya ia begitu dewasa dilihat dari penampilan dan cara berbicaranya.” Daffort berharap ibunya membatalkan acara petunangan yang akan digelar sekitar duapuluh menit lagi. Tapi, sepertinya bujukan Daffort akan sia-sia. Karena keluarga dari Claurella akan segera tiba. Mereka masih di ”Nice Gates” membeli sesuatu.

”Apa maksudmu membatalkan pertunangan ini? Jangan buat malu keluarga, Daf! Kau adalah anak laki-laki dari kami satu-satunya. Kau harus jadi lelaki gentleman! Lagipula ini kan masih pertunangan, bukan pernikahan. Kau masih bisa menjalaninya dan mengetahui sifat Claurella lebih dalam. Kalau kau masih merasa belum cocok, kau baru bisa batalkan. Memangnya, ada perempuan lain yang membuatmu terpikat? Ibu lihat gerak-gerikmu berubah. Dulu, kau dan Claurella sangat dekat seperti sudah menjadi suami istri. Sekarang, kau jarang sekali meluangkan waktumu dan Claurella. Bahkan kau malah menanyakan pantas atau tidak kau bertunangan dengannya. Itu benar-benar aneh.” Ibu Daffort berkata panjang lebar pada Daffort.

”Ibu, bukan itu maksudku. Sudahlah, sebentar lagi mereka datang. Sebaiknya kita segera turun ke bawah.” Daffort mencoba mengalihkan pembicaraan. Karena ia tidak ingin hanya karena masalah sepele ini, ia harus berdebat dengan ibunya. Daffort dan ibunya beriringan turun ke bawah menuju ruang pertemuan.

Ternyata keluarga Claurella telah menunggu di ruang makan. Segera saja Daffort dan ibunya menuju ruang makan keluarga yang memiliki ruangan yang sangat besar. Dengan meja panjang dan kursi sebanyak duapuluh empat buah. Daffort sedikit gugup ketika Claurella tersenyum ke arahnya. Ia seperti kikuk melihat Claurella. Tiba-tiba, bayangan wajah pengantar susu langganannya terlintas.

”Ah, kenapa aku terus membayangkan wajahnya? Tuhan...” ucap Daffort dalam hati. Entah mengapa, bayangan Lindy selalu datang dan pergi di kepala Daffort. Sepertinya, Daffort mengalami suatu rasa yang sulit diungkapkan. Ia merasa jatuh cinta pada pandangan pertama pada Lindy. Meskipun ia belum tahu, siapa nama gadis pengantar susu yang ia temui pagi itu.

Untuk menutupi rasa gugupnya, ia segera duduk tanpa memandang siapapun yang ada di meja makan. Ia terus tertunduk. Hanya tersenyum ketika ada yang berbicara tentangnya dan Claurella. Saat ditanyapun ia selalu menjawab dengan kata-kata dan kalimat yang cukup singkat. Daffort memang sulit ditebak!

Daffort dan lainnya makan malam dengan perkataan basa-basi dari sekitarnya. Ia masih terus berusaha menutupi ke-kikuk­-annya dengan diam tidak ikut campur. Claurella dengan anggun duduk di sebelah ibunya, Nyonya Dimsdale. Ia mengenakan gaun merah muda bersih yang menjuntai hingga menyentuh lantai. Dengan aksen bunga dan renda di sekeliling lehernya. Rambutnya disanggul rapi dihiasi mahkota kecil yang pas di kepalanya. Ia nampak semakin cantik dan anggun. Dengan hati-hati ia memotong beef sticknya. Takut loncat dari piringnya dan membuat malu seluruh keluarganya.

”Jadi, bagaimana kelanjutan hubunganmu dengan Claurella, nak?” Ibu Daffort bertanya pada Daffort sambil tersenyum. Daffort bingung harus berbuat dan menjawab apa. Lalu, dengan gugup dan kaku ia menjawab,

”Ehm, aku ingin membawa hubunganku dengan Claurella lebih serius.” lalu Daffort kembali tertunduk. Ia sebenarnya sedih, karena harus membohongi dirinya sendiri dan juga orang lain, terutama Claurella!

Claurella yang mendengar pernyataan Daffort tersenyum sangat manis. Lalu ia mengambil satu buah anggur yang tepat berada di sebelahnya dan mengupasnya sebelum dimasukkan ke dalam mulutnya. Orang tua Daffort dan Claurella tersenyum melihat tingkah Daffort yang sepertinya malu-malu saat mengucapkan kata-kata ingin bertunangan. Padahal itu bukan malu-malu, tapi suatu kebohongan yang ditutup-tutupi. ”Ah, semua memang tidak ada yang bisa mengerti perasaanku!” rutuk Daffort dalam hati.

”Ah, kau bisa saja. Sekarang, keluarkanlah cincin yang ingin kau berikan pada Claurella. Ayo, jangan malu-malu.” Ayah Daffort berkata sambil menyiku lengan Daffort yang membuatnya semakin terkejut. Oh, God!

Daffort pun memasukkan tangannya ke dalam saku jasnya yang mahal itu. Lalu, ia membuka kotak cincin yang berbentuk hati itu dan memakaikan cincin itu di jari manis Claurella. Lengkap sudah kebahagiaan Claurella. Terlahir sebagai gadis yang berada, cantik, pintar, dan sekarang, dipinang oleh pria tampan, cerdas, kaya pula! Tapi, tidak demikian dengan Daffort. Batinnya semakin mejerit kencang, kencang sekali! Wajah Lindy kembali terlintas. Seakan-akan Lindy tersenyum di atas meja makan dan menyaksikan sendiri proses pemasangan cincin ke jari manis Claurella. Daffort seakan melihat Lindy meneteskan air mata, padahal itu hanya bayangan yang terbentuk dari lampu besar di atas meja makan.

”Indah sekali. Terima kasih ya, Daf. Kau memang selalu memukau. Sama seperti cincin ini.” Claurella memandangi cincinnya yang baru saja dipasangkan Daffort, pujaan hatinya. Daffort tidak bergeming. Ia hanya tersenyum sekilas lalu kembali memalingkan mukanya. Matanya menyapu bersih seluruh ruang makan. Seperti orang yang baru saja melihat ruang makan sebesar itu. Padahal sudah berulang kali. Tapi, entah kenapa, ia merasa muak melihat sekelompok orang yang berada di hadapannya sekarang.

”Bisakah aku permisi ke kamar kecil?” Daffort mendadak ingin ke kamar kecil. Saat ia meminta ijin, semua mata menghadap ke arahnya. Ia langsung berlalu meninggalkan kursinya. Sebenarnya, ia tidak sedang ingin ke kamar kecil. Hanya alasan. Ia ingin kembali ke kamarnya dan menghabiskan waktunya disana.

”Siapakah namamu, gadis cantik?” Daffort berkata sendiri di kamarnya sambil melihat label botol susu pesanannya yang diantarkan oleh Lindy. Ia ingin sekali menuju rumah Lindy dan menanyakan namanya. Tapi, ia bingung dimanakah rumah Lindy. Lalu, ia berinisiatif untuk memesan kembali susu segar itu.

Dirasa lama sekali Daffort tidak kembali ke tempatnya, keluarga Claurella mohon ijin kembali pulang. Karena hari juga sudah malam. Akhirnya, merekapun pulang. Hati Daffort sangat senang. Ia melepaskan semua pakaian rapi yang membalutnya. Ia lalu mengambil piyama di lemarinya dan menyikat giginya untuk bersiap tidur. Saat ia sedang asyik mencuci muka, ia dikejutkan oleh suara ketukan pintu kamarnya dari luar. Ia berkumur-kumur lalu meletakkan sikat giginya.

”Iya, siapa?” tanya Daffort dari dalam kamar berjalan ke arah pintu.

”Keluarlah, anak tidak punya sopan santun!” Daffort menghentikan langkahnya. Ia tahu, itu suara ayahnya. Ia bingung, harus berbuat apa. Tadi ia terlanjur menjawab saat ayahnya mengetuk pintu. Sangat tidak mungkin jika ia berpura-pura tidur. Pasti akan ketahuan. Dengan memberanikan diri, Daffort menemui ayahnya di depan pintu kamarnya.

”Ada apa ayah?” tanya Daffort seolah-olah tidak tahu akan kejengkelan ayahnya padanya.

”Kau memang tidak tahu malu! Kau meninggalkan tamu begitu saja! Apa maksudmu ingin mempermalukan ayah dan ibumu di depan keluarga Claurella? Hah!” ayah Daffort membentak ketika ia melihat Daffort dengan santai berdiri di ambang pintu.

”Aku tidak bermaksud seperti itu, ayah. Aku hanya ingin ke kamar kecil tadi. Lalu, tiba-tiba aku merasa mengantuk sekali. Maka dari itu, aku langsung ke kamarku dan berganti pakaian untuk bersiap tidur. Memangnya orang sepertiku tidak boleh mengantuk. Aku juga bisa lelah, ayah. Apa berarti itu membuatmu malu di hadapan keluarga Claurella? Jika benar begitu, maafkanlah aku ayah. Apa kau tega membiarkan anakmu terkantuk-kantuk di hadapan tamu tapi tetap memaksakan diri?” Daffort mencoba memberi alasan yang kira-kira masuk akal.

”Ah, sudahlah! Lupakan saja!” ayah Daffort pun meninggalkan Daffort di kamarnya. Ia kembali menuju ruang makan menemui istrinya.



***



Tiga

Seperti biasa, pagi ini Lindy harus mengantarkan pesanan susu ke kota. Kali ini ia harus mengantarkan susu ke daerah Bougenville. Jaraknya lebih dekat dari pada ke rumah Tuan Daffort maupun Nyonya Alberthein kemarin. Padahal, walaupun jauh, Lindy tetap senang mengantarkannya. Kalau saja ia tidak mengantarkan susu itu, ia pasti tidak akan pernah melihat wajah tampan sang Daffort Hitler, juga tak akan mendengar suara indah Daffort. Ia sangat bersyukur telah menjadi seorang pengantar susu. Ia sangat berharap bisa mengantar ke rumah Tuan Daffort lagi.

”Lindy, antarkan ini ke rumah Tuan Dessel di Jalan Bougenville nomor tujuh. Lalu, ke tempat Nona Lully di Bougenville juga nomor sembilan. Tidak terlalu jauh, bukan? Jadi kau tidak perlu mencari dua tempat. Karena mereka berdampingan.” kata ibu Lindy sambil menaikkan botol-botol susu ke atas keranjang sepeda Lindy.

”Iya, bu. Aku pergi dulu ya!” Lindy menaiki sepedanya dan bergegas pergi. Mumpung hari masih pagi, tentunya udara masih sangat segar untuk dihirup. Pagi-pagi sekali ibunya telah memerah susu sapi.

“Hati-hati di jalan!” ibu Lindy setengah berteriak karena Lindy sudah agak jauh dari pandangannya. Ia melambaikan tangannya. Lindy menoleh ke belakang lalu membalas lambaian tangan ibunya.

Lindy mengantar dengan hati yang sangat riang. Ia menyanyi-nyanyi di sepanjang jalan. Ia merasa lebih enak mengantar pada pagi hari seperti ini. Karena saat ia melintasi jalan, udara masih alami. Masih segar! Daun-daun masih basah oleh embun, juga masih ada kabut putih yang menutupi. Walaupun sebenarnya menghirup kabut itu tidak boleh. Tapi, Lindy melihat itu semua sangat indah. Lindy sangat menyukai itu.

Sekitar pukul tujuh pagi, Lindy sampai di Bougenville Street. Lindy pun mencari-cari alamat dari Tuan Dessel dan Nona Lully. Saat hendak memasuki jalur empat di Bougenville Street, Lindy melihat bayangan orang yang sedang mengendarai sepeda gunung. Lindy tidak menghiraukannya, ia tetap berlalu mencari alamat tujuannya. Setelah semua susu diantar dan ia hendak beristirahat sejenak sambil menikmati bekal susunya, Tiba-tiba...

”Hei, bukankah kau yang mengantarkan susu ke rumahku?” tanya seseorang di belakang Lindy. Lindy berharap bukan hantu yang sedang bertanya padanya. Tapi, kalau hantu pun tak akan mungkin. Mana mungkin ia mengantarkan susu ke pemakaman! Lindy pun menoleh ke belakang. Saat dilihatnya, ternyata...

”Tuan Daffort? Ya, aku yang mengantarkan susu ke rumahmu pagi itu. Wah, kebetulan sekali ya, kita bertemu! Kau pasti sedang bersepeda santai ya?” Lindy mencoba berbasa-basi dengan laki-laki yang ada di hadapannya. Walaupun hatinya terus berdebaran karena ia sedang berhadapan dengan orang paling kaya kedua setelah Raja Freshland.

”Ehm, iya. Kebetulan, hari ini aku punya waktu untuk bersepeda. Biasanya, aku sibuk mengurus pekerjaan ini itu. Kebetulan sekali hari ini sedang kosong. Kau sendiri, pasti sedang mengantarkan susu seperti biasa ya?” tanya Daffort yang membuat wajah Lindy memerah. Untuk menutupi wajahnya yang mulai memerah karena malu, Lindy hanya tertunduk mendengarkan apa yang dikatakan oleh Daffort.

”Iya, aku sedang mengantarkan susu. Kebetulan aku membawa lebih. Apa kau mau? Aku memang sengaja membawa lebih untuk kuminum saat aku mulai letih.” Lindy menawarkan jatah susunya yang ada dua botol. Pas sekali! Untuknya dan Daffort. Itupun kalau Daffort mau. Kalau tidak, yaa Lindy yang meminumnya sendiri dua botol. Lindy kemudian menyodorkan satu botol susu itu ke Tuan Daffort.

”Ehm, mulai sekarang, kau tak perlu memanggilku dengan sebutan Tuan. Panggil saja aku Daffort atau biasa aku dipanggil. Daf. Oh iya! siapa namamu?” Daffort menjulurkan tangannya mengajak berkenalan. Ternyata, Daffort adalah orang kaya yang tidak sombong, malah ramah sekali! Lindy membalas uluran tangan Daffort. Mereka berjabatan.

”Daffort!”

”Lindy!”

”Wah, namamu lucu ya! Hehehe...” Daffort tertawa kecil setelah mendengar nama Lindy. Baginya, namanya sangat lucu. Seperti nama anak kecil.

“Ah, kau bisa saja Daf.” Lindy tersipu mendengar perkataan Daffort. Ia pun menenggak susunya yang sudah berkurang hingga ukuran leher botol. Daffort pun melakukan hal yang sama. Mereka tertawa saat mereka sama-sama berhenti minum susu.

”Rumahmu dimana Lindy? Bolehkah aku bermain kesana jika ada waktu?” Daffort memandang raut wajah Lindy yang polos dengan pandangan mata yang penuh.

”Rumahku jauh dari sini. Lagipula, rumahku adalah pedesaan. Jadi, mungkin kau akan tidak suka melihat rumahku yang juga tidak jauh dari peternakan sapi, kambing, domba, dan keledai.” kata Lindy menjelaskan sebelum akhirnya Daffort menuju ke rumahnya.

”Aku tak pernah memilih-milih jika berteman. Semua orang bisa menjadi temanku. Lagipula, siapa tahu aku rindu dengan susu hasil perahan ibumu ini. Jadi aku bisa leluasa ke rumahmu tanpa harus memesan lewat telepon. Dengan begitu, aku bisa melihat proses pembuatan susu ini dari mulai sapi sampai menjadi botol seperti ini.” Daffort menjelaskan panjang lebar.

”Baiklah, rumahku di dekat aliran sungai yang penuh bebatuan. Biasanya orang menyebut desaku adalah Green Village. Ya, itu karena desaku masih alami. Belum banyak bangunan disana. Semuanya serba dari alam. Tapi aku cukup senang tinggal disana. Benarkah aku akan berkunjung ke rumahku jika ada waktu?” tanya Lindy tak percaya. Bukankah biasanya orang kaya tidak mau menginjakkan kaki di desanya.

”Iya. Ehm, sepertinya kita mengobrol terlalu lama. Aku harus kembali. Aku yakin, kau pasti juga harus menyelesaikan pekerjaanmu yang lain. Bukan begitu, nona?” kata-kata Daffort dan pandangan mata Daffort yang jernih membuat Lindy tak sanggup berkata banyak.

”Iya, maaf telah menyita waktu sibukmu. Permisi,” kata Lindy mulai mengayuh sepedanya, begitu pun Daffort. Hanya saja mereka berbeda arah. Lindy ke arah timur, sedangkan Daffort ke barat.

Lindy pun mengayuh sepedanya dengan semangat. Ia ingin segera pulang ke rumahnya dan ingin segera mencuci mukanya dengan air jernih di sungai di dekat rumahnya. Untuk memastikan apa yang baru saja ia alami itu mimpi atau bukan. Lindy tersenyum di sepanjang perjalanan. Ia menyapa setiap orang yang dikenalnya. Semua orang heran melihat sikap Lindy pagi ini. Tampak ceria sekali!

Setelah sampai di rumah, Lindy langsung meletakkan sepedanya dan mengganti pakaiannya. Ia menuju sungai dan mencuci tangannya dengan air yang jernih itu. Lalu ia membasuhkan ke mukanya. Ternyata benar! Ia tidak sedang bermimpi! Terima kasih, Tuhan... Lindy berkata dalam hati.

***




Karya : Dyah Ayu Tania

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.