Wanita Terhebat



 oleh Tri Hartati

Patutlah para pujangga tak akan pernah kering kata-kata, ketika memuji namamu. Bahkan hadist Rasulullah menyatakan bahwa ‘Syurga berada di bawah telapak kaki Ibu’ dan keunggulan seorang ibu dibandingakan seorang Ayah pun Rasulullah sampaikan dengan menyebut namamu tiga kali, sedangkan Ayah hanya disebutkannya satu kali.
***
            Hanya emak yang kupunya. Tapi, cintanya lebih dari sempurna.

            Seminggu berlalu. Keluarga semakin banyak yang datang ke rumah. Ada yang menginap, adapula yang datang lalu sore harinya pulang. Tetangga pun ramai di dapur dan di halaman rumah yang telah disulap menjadi tenda-tenda.
            Semua nampak sibuk. Anak-anak kecil menambah ramai suasanan. Ada yang tertawa tergelak-gelak, biasanya ibu-ibu yang mengobrol ngalor-ngidul, serta suara tangisan anak kecil mewarnai hari-hariku yang mendebarkan.
            Kulihat Emak, mondar-mandir. Terlihat bahagia sekali. Senyumnya terus mengembang. Apalagi jika sepupu-sepunya berdatangan, Emak akan menyambut dengan gurauan yang lucu. Membuat mereka tertawa terpingkal-pingkal.
            Aku tak kalah sibuknya. Menyambut saudara-saudara yang datang, membenahi kamar dan menerima telepon dari teman-teman.
***
            “Jangan pernah merasa sedih, ada Emak di sini.” Aku terkejut. Sudah ada Emak berdiri di belakangku. Diambilnya foto dalam bingkai warna coklat. Foto ini diambil sepuluh tahun yang lalu, ketika usiaku lima belas tahun. Aku, Ayah dan Emak tersenyum ketika photographer membidikan kameranya.
            Kususut airmata yang terlanjur mengalir di pipi.
            “Hana...Hanya terkenang dengan Ayah. Seharusnya beliau menyaksikan...” Tak kuat aku meneruskan kata-kata.
            “Hana anak yang kuat. Emak yakin Ayah bangga. Apalagi inshaa Allah Hana akan mendapatkan suami yang baik dan soleh....”
            “Mak...kenapa Emak sekuat ini menjalani hidup hanya dengan Hana? Kenapa Emak bekerja keras demi menyekolahkan Hana. Tak pernah Emak mengeluh. Dan pula...Emak sampai sekarang tak menikah lagi....” Rasanya aku sekarang menangis meraung. Emak segera memelukku.
            “Nak, jika engkau telah menjadi seorang ibu kelak, akan mengerti. Seorang ibu akan melakukan apapun demi menjadikan anaknya bahagia. Memberinya kehidupan yang layak, membekali ilmu, bahkan jika ditukar dengan nyawa, seorang ibu akan sanggup menukarnya.” Emak sesenggukan. Aku semakin memeluknya erat.
            “Emak sangat mencintai Ayahmu. Tak sanggup jika harus menerima lelaki lain dalam hidup Emak....”. Ya Alloh, aku semakin meraung. Betapa mulianya hati Emak.
***
            Emak selalu ada untukku. Ketika Ayah meninggal, ketegaran Emak teruji. Hari-hari kami menjadi sepi, namun Emak selalu menghiburku.
            “Emak pastikan, Hana bisa masuk Sekolah Menengah Atas.” Saat itu aku baru lulus Sekolah Menengah Pertama. Baru tiga bulan yang lalu Ayah meninggal. Harta yang ditinggalkan Ayah, rumah sederhana dan uang yang tak banyak. Ayah bekerja sebagai sopir di toko material dan Emak penjahit sederhana.
            Ternyata Emak bukan hanya bisa menyekolahkanku sampai SMA, gelar sarjana pun bisa kuraih dengan pengorbanan Emak membiayaiku.
            Seperti hari ini. Semua telah Emak persiapkan dengan baik. Menginginkan anak tunggalnya menikah dengan acara yang meriah. Menjadikanku ratu yang cantik.
            Jodoh itu datang ketika usiaku dua puluh lima tahun. Tiga tahun mengajar di Sekolah Menengah Atas, mendaftar menjadi pegawai negeri dan akhirnya lulus. Berkah doa Emak siang dan malam. Derajat Emak terangkat pula, lantaran anaknya menjadi guru negeri. Lalu, ada rekan guru muda yang diam-diam menyukaiku dan atas persetujuanku datang melamar. Cukup dua bulan kami berkenalan dan akhirnya menentukan tanggal pernikahan.
***

            Debar-debar hatiku ini membuat perutku mulas. Emak sesekali menengok ke kamar. Emak terlihat cantik sekali dengan kebaya warna putih. Akad nikah pukul sembilan pagi, kurang setegah jam lagi. Rombongan mempelai pria belum juga datang. Kutelpon tak aktif.
            “Mak, telepon bang Angga tak aktif, begitu pula yang lain.” Kuadukan pada Emak.
            “Kamu tenang, Nak. Doakan saja agar mereka selamat sampai ke sini.” Emak menenangkanku. Saat-saat begini masih ada Emak di sini menjadi penentram hatiku. Aku memang sering panik, jika ada hal yang tidak sesuai harapanku.
            Musik Nasyid, sesuai permintaanku, terus mengalun. Lima belas menit kemudian, belum juga muncul rombongan mempelai pria. Aku hampir menangis. Emak datang lagi ke kamarku.
            “Nak, buatlah hatimu tenteram. Doa adalah senjata terbaik mematahkan kegelisahan. Ikhlas tentunya hal paling baik untuk hidup kita. Jika hidup tak sesuai harapan, ketahuilah Allah yang mengatur segalanya. Kita sudah berusaha, berdoa serta berjalan di jalan-Nya, namun masih ada ujian menerpa, cukuplah kembalikan semuanya pada Allah. Tenang dan tenang, ciptakan ketenangan itu dalam hatimu.”
            Justru kata-kata Emak yang membuatku menangis. Aku malu. Tak seharusnya kutunjukkan kepanikan ini. Hal buruk belum terjadi, kenapa aku mesti sedih sekarang.
***
            Suara shalawat diiringi musik rebana mengagetkanku.
            “Nak, Alhamdulillah mempelai pria sudah datang.” Muncul kepala Emak dari balik pintu kamar. “Emak pergi menyambut mereka, ya.” Aku sujud syukur pada Allah. Ingin aku berlari memeluk Emak. Wanita hebat itu sedang tersenyum bahagia menyambut calon menantunya beserta calon besannya.
            Sepuluh menit kemudian aku di tuntun menuju ruang tamu. Gaun pengantin warna putih ini senada dengan baju mempelai pria. Begitulah konsep yang telah kami atur bersama. Kulihat paman Ramli sudah duduk dekat penghulu. Beliau yang akan mewakili Ayah menikahkanku. Calon suamiku tersenyum ke arahku ketika berpandang mata. Aku tersipu.
***
             Emak, kucium kakimu yang berbau syurga
            Kupeluk tubuhmu yang sewangi bidadari
            Acara sungkeman itu. Airmataku dan Emak menderas.
            Sampai acara pernikahanku usai, Emak masih memberesi semuanya. Seakan tak kulihat ada keletihan di wajahnya.
            “Bang, lihatlah wanita hebat yang kupunya....” Kataku pada suamiku.
            “Hana, jangan menangis, nanti Emak sedih lihat airmatamu.”
            “Bukan nangis sedih bang...tapi bahagia. Sampai aku menikah, Emak masih mendampingiku bahkan mengurusiku. Masih ada Emak bersamaku. Bagaimana aku bisa membalas kebaikan Emak? Segunung emas yang kupunya pun tak akan bisa menandingi kekayaan batin Emak...”
            “Perhatian dan doa pada Emak, inshaa Allah bisa membuat Emak bahagia, Hana. Jangan sedih. Begitulah kebaikan seorang Ibu, kita tak akan bisa membayar dengan apapun. Bahkan dunia beserta isinya. Semoga Allah kelak menjadikan Ibu kita bidadari di syurga....”
            “Aamiin...” ucapku lirih.
            “Hana, maafkan abang karena membuatmu panik. Sengaja abang datang terlambat sebelum akad nikah, ponsel pun abang matikan. Itu sesuai permintaan Emak, yang ingin anaknya belajar untuk tenang serta ikhlas terhadap kondisi apapun. Agar Hana belajar untuk selalu tegar menghadapi masalah apapun.”
            Aku tersenyum. Walaupun sempat terkejut. Emak punya ide seperti itu dengan tujuan yang baik.
            “Emak!”
            Emak menoleh. Aku berlari memeluk Emak. Wanita terhebat. Wanita mulia. Wanita yang selama ini menjagaku. Sekarang aku yang akan menjaga Emak.
***
Pontianak, 3 Januari 2016

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.