Wanita Terhebat
Patutlah
para pujangga tak akan pernah kering kata-kata, ketika memuji namamu. Bahkan
hadist Rasulullah menyatakan bahwa ‘Syurga berada di bawah telapak kaki Ibu’
dan keunggulan seorang ibu dibandingakan seorang Ayah pun Rasulullah sampaikan
dengan menyebut namamu tiga kali, sedangkan Ayah hanya disebutkannya satu kali.
***
Hanya emak yang kupunya. Tapi,
cintanya lebih dari sempurna.
Seminggu berlalu. Keluarga semakin
banyak yang datang ke rumah. Ada yang menginap, adapula yang datang lalu sore
harinya pulang. Tetangga pun ramai di dapur dan di halaman rumah yang telah
disulap menjadi tenda-tenda.
Semua nampak sibuk. Anak-anak kecil
menambah ramai suasanan. Ada yang tertawa tergelak-gelak, biasanya ibu-ibu yang
mengobrol ngalor-ngidul, serta suara tangisan anak kecil mewarnai hari-hariku
yang mendebarkan.
Kulihat Emak, mondar-mandir.
Terlihat bahagia sekali. Senyumnya terus mengembang. Apalagi jika
sepupu-sepunya berdatangan, Emak akan menyambut dengan gurauan yang lucu.
Membuat mereka tertawa terpingkal-pingkal.
Aku tak kalah sibuknya. Menyambut
saudara-saudara yang datang, membenahi kamar dan menerima telepon dari
teman-teman.
***
“Jangan pernah merasa sedih, ada
Emak di sini.” Aku terkejut. Sudah ada Emak berdiri di belakangku. Diambilnya
foto dalam bingkai warna coklat. Foto ini diambil sepuluh tahun yang lalu,
ketika usiaku lima belas tahun. Aku, Ayah dan Emak tersenyum ketika photographer membidikan kameranya.
Kususut airmata yang terlanjur
mengalir di pipi.
“Hana...Hanya terkenang dengan Ayah.
Seharusnya beliau menyaksikan...” Tak kuat aku meneruskan kata-kata.
“Hana anak yang kuat. Emak yakin
Ayah bangga. Apalagi inshaa Allah Hana akan mendapatkan suami yang baik dan
soleh....”
“Mak...kenapa Emak sekuat ini menjalani
hidup hanya dengan Hana? Kenapa Emak bekerja keras demi menyekolahkan Hana. Tak
pernah Emak mengeluh. Dan pula...Emak sampai sekarang tak menikah lagi....”
Rasanya aku sekarang menangis meraung. Emak segera memelukku.
“Nak, jika engkau telah menjadi
seorang ibu kelak, akan mengerti. Seorang ibu akan melakukan apapun demi
menjadikan anaknya bahagia. Memberinya kehidupan yang layak, membekali ilmu,
bahkan jika ditukar dengan nyawa, seorang ibu akan sanggup menukarnya.” Emak
sesenggukan. Aku semakin memeluknya erat.
“Emak sangat mencintai Ayahmu. Tak
sanggup jika harus menerima lelaki lain dalam hidup Emak....”. Ya Alloh, aku
semakin meraung. Betapa mulianya hati Emak.
***
Emak selalu ada untukku. Ketika Ayah
meninggal, ketegaran Emak teruji. Hari-hari kami menjadi sepi, namun Emak
selalu menghiburku.
“Emak pastikan, Hana bisa masuk
Sekolah Menengah Atas.” Saat itu aku baru lulus Sekolah Menengah Pertama. Baru
tiga bulan yang lalu Ayah meninggal. Harta yang ditinggalkan Ayah, rumah
sederhana dan uang yang tak banyak. Ayah bekerja sebagai sopir di toko material
dan Emak penjahit sederhana.
Ternyata Emak bukan hanya bisa
menyekolahkanku sampai SMA, gelar sarjana pun bisa kuraih dengan pengorbanan Emak
membiayaiku.
Seperti hari ini. Semua telah Emak
persiapkan dengan baik. Menginginkan anak tunggalnya menikah dengan acara yang
meriah. Menjadikanku ratu yang cantik.
Jodoh itu datang ketika usiaku dua
puluh lima tahun. Tiga tahun mengajar di Sekolah Menengah Atas, mendaftar
menjadi pegawai negeri dan akhirnya lulus. Berkah doa Emak siang dan malam.
Derajat Emak terangkat pula, lantaran anaknya menjadi guru negeri. Lalu, ada
rekan guru muda yang diam-diam menyukaiku dan atas persetujuanku datang melamar.
Cukup dua bulan kami berkenalan dan akhirnya menentukan tanggal pernikahan.
***
Debar-debar hatiku ini membuat
perutku mulas. Emak sesekali menengok ke kamar. Emak terlihat cantik sekali
dengan kebaya warna putih. Akad nikah pukul sembilan pagi, kurang setegah jam
lagi. Rombongan mempelai pria belum juga datang. Kutelpon tak aktif.
“Mak, telepon bang Angga tak aktif,
begitu pula yang lain.” Kuadukan pada Emak.
“Kamu tenang, Nak. Doakan saja agar
mereka selamat sampai ke sini.” Emak menenangkanku. Saat-saat begini masih ada
Emak di sini menjadi penentram hatiku. Aku memang sering panik, jika ada hal
yang tidak sesuai harapanku.
Musik Nasyid, sesuai permintaanku,
terus mengalun. Lima belas menit kemudian, belum juga muncul rombongan mempelai
pria. Aku hampir menangis. Emak datang lagi ke kamarku.
“Nak, buatlah hatimu tenteram. Doa
adalah senjata terbaik mematahkan kegelisahan. Ikhlas tentunya hal paling baik
untuk hidup kita. Jika hidup tak sesuai harapan, ketahuilah Allah yang mengatur
segalanya. Kita sudah berusaha, berdoa serta berjalan di jalan-Nya, namun masih
ada ujian menerpa, cukuplah kembalikan semuanya pada Allah. Tenang dan tenang,
ciptakan ketenangan itu dalam hatimu.”
Justru kata-kata Emak yang membuatku
menangis. Aku malu. Tak seharusnya kutunjukkan kepanikan ini. Hal buruk belum
terjadi, kenapa aku mesti sedih sekarang.
***
Suara shalawat diiringi musik rebana
mengagetkanku.
“Nak, Alhamdulillah mempelai pria
sudah datang.” Muncul kepala Emak dari balik pintu kamar. “Emak pergi menyambut
mereka, ya.” Aku sujud syukur pada Allah. Ingin aku berlari memeluk Emak.
Wanita hebat itu sedang tersenyum bahagia menyambut calon menantunya beserta
calon besannya.
Sepuluh menit kemudian aku di tuntun
menuju ruang tamu. Gaun pengantin warna putih ini senada dengan baju mempelai
pria. Begitulah konsep yang telah kami atur bersama. Kulihat paman Ramli sudah
duduk dekat penghulu. Beliau yang akan mewakili Ayah menikahkanku. Calon
suamiku tersenyum ke arahku ketika berpandang mata. Aku tersipu.
***
Emak, kucium
kakimu yang berbau syurga
Kupeluk tubuhmu yang sewangi
bidadari
Acara sungkeman
itu. Airmataku dan Emak menderas.
Sampai acara pernikahanku usai, Emak
masih memberesi semuanya. Seakan tak kulihat ada keletihan di wajahnya.
“Bang, lihatlah wanita hebat yang
kupunya....” Kataku pada suamiku.
“Hana, jangan menangis, nanti Emak
sedih lihat airmatamu.”
“Bukan nangis sedih bang...tapi
bahagia. Sampai aku menikah, Emak masih mendampingiku bahkan mengurusiku. Masih
ada Emak bersamaku. Bagaimana aku bisa membalas kebaikan Emak? Segunung emas
yang kupunya pun tak akan bisa menandingi kekayaan batin Emak...”
“Perhatian dan doa pada Emak, inshaa
Allah bisa membuat Emak bahagia, Hana. Jangan sedih. Begitulah kebaikan seorang
Ibu, kita tak akan bisa membayar dengan apapun. Bahkan dunia beserta isinya.
Semoga Allah kelak menjadikan Ibu kita bidadari di syurga....”
“Aamiin...” ucapku lirih.
“Hana, maafkan abang karena
membuatmu panik. Sengaja abang datang terlambat sebelum akad nikah, ponsel pun
abang matikan. Itu sesuai permintaan Emak, yang ingin anaknya belajar untuk
tenang serta ikhlas terhadap kondisi apapun. Agar Hana belajar untuk selalu
tegar menghadapi masalah apapun.”
Aku tersenyum. Walaupun sempat
terkejut. Emak punya ide seperti itu dengan tujuan yang baik.
“Emak!”
Emak menoleh. Aku berlari memeluk
Emak. Wanita terhebat. Wanita mulia. Wanita yang selama ini menjagaku. Sekarang
aku yang akan menjaga Emak.
***
Pontianak,
3 Januari 2016
Leave a Comment