Membangun Konflik dalam Novel (Bagian 2)
Konflik dan “Gunung Plot”
Di bagian pertama, kita telah
mengibaratkan Plot sebagai gunung, yang pada dasarnya disusun atas konflik.
Berawal dari pengenalan tokoh, timbulnya masalah, mulai adanya konflik,
klimaks, antiklimaks dan ending. Pengembangan konflik mirip balon yang selalu
ditiup hingga kapasitas maksimum, lalu diledakkan. Jika kita tidak mampu
membuat balon itu membesar sempurna, ledakan yang terjadi tentu kurang
meyakinkan.
Dalam cerpen, yang plotnya tunggal,
saya biasa menggunakan 3 kejadian konflik dengan dosis yang selalu meningkat.
Misal, kisah seorang gadis desa yang merantau ke Jakarta. Kejadian pertama, dia
merasakan berlari-larian mengejar bus kota dan berdesak-desakkan. Kejadian
kedua, dosisnya naik, yakni dia dicopet saat gajian pertama. Kejadian ketiga,
lebih parah lagi, kebanjiran sehingga pulang dalam keadaan basah kuyup, lalu
ditolong seorang bapak tua hingga dengan sangat susah payah berhasil
mendapatkan tempat yang aman. Antiklimaks saya tutup dengan ending bahwa bapak
tua yang dia anggap sangat kebapakan dan baik hati itu, ternyata mengajak dia ngamar
di hotel dengan mengedipkan mata sebelah, dan si gadis pun terpontang-panting
berlari meninggalkan si bapak.
Dalam novel, karena karakternya
banyak, konfliknya tentu lebih komplek. Sehingga kejadian demi kejadian bisa
jadi membentuk plot yang majemuk. Tetapi, saya biasa membagi menjadi plot utama
dan plot cabang. Tetapi, novel yang baik, adalah novel yang ada ketersambungan antara
konflik cabang dengan konflik utama.
Saya contohkan lagi di plot film
Paddington. Plot utama adalah si beruang Paddington yang meninggalkan rimba
peru setelah pemukimannya hancur luluh terkena gempa. Paddington ingin mencari
Tuan Montgomery Clyde, penjelajah yang pernah tinggal bersama mereka dan
mengatakan, bahwa mereka akan disambut dengan hangat di kota London. Paddington
datang ke London, namun ternyata terlantar dan ditampung oleh keluarga Brown
yang baik hati, orang-orangnya aneh namun baik hati. Dibantu keluarga Brown,
mereka berhasil menemukan keluarga Clyde. Namun, Tuan Montgomery Clyde sudah
meninggal, yang ada justru anaknya, Millicent yang sangat bernafsu mengawetkan
Paddington sebagai bukti bahwa ayahnya pernah menjelajahi Rimba Peru.
Selain konflik utama yang membangun
plot utama, juga ada konflik-konflik cabang seperti saat Paddington sedang
kelaparan, lalu memakan roti yang selalu dia simpan di bawah topinya. Saat itu,
muncul seekor burung. Paddington memberinya secuil roti. Namun kemudian muncul
ratusan burung serupa, sementara roti Paddington hanya sepotong. Ternyata,
konflik cabang ini tidak “menganggur”, tetapi dikaitkan untuk menguatkan
konflik utama. Yaitu, saat Paddington sedang dalam kesulitan karena hendak
dibunuh Millicent, mendadak muncul ratusan burung-burung itu. Paddington pun melemparkan
sepotong roti yang selalu dia simpan di bawah topi ke arah Millicent dan
ratusan burung itu pun menyerang Millicent.
Saya harus jujur mengatakan, bahwa
Maryamah Karpov, adalah novel terjelek dari tetralogi Laskar Pelangi.
Penyebabnya, konflik-konflik di sana dibiarkan saling bertebaran tanpa terkait
satu sama lain menyokong pohon plot yang kokoh.
Bagaimana Menciptakan Konflik yang Bagus?
Karena inti dari konflik adalah
interaksi karakter, maka cara untuk membuat konflik yang bagus adalah dengan
mengeksplorasi karakter si tokoh. Lalu, setelah memberi karakter, benturkan
satu sama lain, dan carilah potensi permasalahan apa yang muncul. Untuk membuat
solusi dari permasalahan tersebut, kita bisa memperdalam teori-teori karakter
atau kepribadian. Kita mengenal berbagai teori kepribadian, misalnya
Psikoanalisa Freud (banyak novel-novel bagus ternyata penganut aliran ini L). Ada juga
Trait Theories, Behaviourisme atau juga Transpersonal. Tentu kita tak perlu
jadi psikolog untuk bisa memahami teori-teori ini. Karena, kata Sastrawan yang
juga Psikolog, Darmanto Jatman, sastra itu lebih psikologi daripada psikologi.
Cukup penting juga untuk membangun
ketegangan demi ketegangan dalam dosis yang semakin meningkat. Dalam teknik
penulisan novel, ini disebut sebagai suspense. Di Wikipedia disebutkan bahwa
SUSPENSE adalah menyaran pada adanya perasaan semacam kurang pasti terhadap
peristiwa-peristiwa yang akan terjadi, khususnya yang menimpa tokoh yang
menimpa tokoh yang diberi rasa simpati oleh pembaca. Sehingga, mendorong,
menggelitik, dan memotivasi pembaca utuk setia mengikuti cerita hingga akhir.
Teknik yang lazim dipakai untuk membangun SUSPENSE adalah foreshadowing. Teknik
foreshadowing adalah teknik menampilkan peristiwa-peristiwa masa depan pada
saat ini secara tidak langsung. Foreshadowing semacam pertanda bahwa di masa
depan akan terjadi peristiwa-peristiwa besar yang akan dialami tokoh novel.
Deux ex
Machine
Dalam mengembangkan dan
menyelesaikan konflik, hindarilah deux ex machine (Tuhan keluar dari
mesin). Ini adalah istilah yang merujuk pada teater Yunani Kuno dimana setelah
penonton dijejali dengan konflik yang rumit, ternyata di akhirnya ujug-ujug
para tokoh Dewa seperti Apollo turun dan menyelesaikan konflik begitu saja
dengan karakter dewanya. Ini mirip dengan novel berkonflik panjang,
berlika-liku, tetapi penyelesainnya gampang sekali: si antagonis tertabrak
mobil dan mati. Atau, sedang tegang-tegangnya konflik berlangsung, ternyata
semua hanya mimpi. Jadi, semua hanya mimpi?
Sumber: Afifah Afra
Leave a Comment