Cinta Tanpa Syarat
(Diterbitkan
di Koran PontianakPost Edisi Minggu, 30 September 2012)
Waras.
Begitu nama suami Dinda. Dinda adalah keponakan tetangga dekatku. Namun aku
menjadi akrab dengan pasangan pengantin baru yang memilih tinggal dikampung
ini.
“Pak De yang menyuruh kami pindah
dari kota kesini, katanya disini banyak kerjaan mbak. Lagian memang dikota pun
kami kesusahan. Orang tua hanya menghuni rumah petak. Kami berharap kepindahan
kami kesini bisa mengirimkan uang pada mereka.” Begitu tutur Dinda. Kutahu usia
mereka masih muda.
“Iya mbak Lia, dengar-dengar pun
para asisten perkebunan sawit bahkan mencari sendiri para pekerjanya, sampai datang
kerumah-rumah”. Kata Mas Waras menimpali. Aku memanggil Mas, karena ia lebih
tua dua tahun dariku.
Hingga akhirnya terjadi tragedi
pertengkaran dalam rumah tangga Pak De Dinda. Dinda dan suaminya mengungsi
kerumahku. Ayah dan Ibuku menerima pasangan suami istri itu dengan iba.
Dianggapnya mereka adalah anak kandung sendiri. Aku juga tak berkeberatan. Kami
tahu, istri Pak De tidak setuju Dinda dan suaminya menumpang dirumahnya. Pasalnya
sudah bukan rahasia umum, istri pak De Dinda bertabiat kurang baik. Pelit dan
sombong.
Malam itu seusai makan malam, kami
berbincang-bincang sambil menghilangkan penat karena seharian telah bekerja.
Penduduk dikampung ini bermata pencaharian diperkebunan sawit. Menanam,
Memupuk, menyiangi serta memanen pohon
sawit, begitulah. Ada juga yang mempunyai kebun karet, seperti kami. Setiap hari
Ayah dan Ibu menoreh di sana.
Hingga
percakapan selesai, akhirnya ayahku terpaksa menyetujui permintaan Mas Waras.
Ya, mereka akan pindah tempat tinggal, yaitu di gubug kecil bekas jualan
makanan kecil dipinggir jalan. Ibuku menahan mereka, tapi keputusannya sudah
bulat. Mulai besok pagi mereka akan pindah.
Aku
dan ibuku mengantarkan kepindahan mereka. Melewati depan rumah Pak De Dinda, Bu
De nya membuang muka. Aku dan Ibuku menggeleng-gelengkan kepala.
****
Semalaman
aku tak bisa tidur. Masih terbayang gubug seluas 2x3 meter yang kini jadi
tempat tinggal Dinda dan suaminya. Aku hampir menangis tadi siang ketika pamit
pulang. Barang-barang yang menjadi milik mereka sekarang hanyalah sepasang
piring, sendok, dan gelas. Betul-betul hidup dari nol. Aku tak sanggup
membayangkan jika itu menimpaku setelah pernikahanku. Apakah aku mampu
melewatinya. Aku begitu bangga pada Dinda, tak mengeluh hidup bersama suaminya
yang begitu melarat.
Sepulang
mengajar dari SD aku pasti mampir kerumah Dinda. Ya, aku adalah guru muda
honorer di SD kampungku. Berita gembira dari Dinda menyambutku. Ternyata ia
sedang hamil. Baru 2 minggu umur janin
dalam perutnya. Alhamdulillah….
Seminggu
ini aku sibuk disekolah karena sedang
ujian akhir semester. Aku tak tahu kabar Dinda dan suaminya. Maka siang ini,
aku menyempatkan waktu untuk bertandang kerumahnya.
Dinda
tak dirumah. Begitu aku sampai disana. Aku bergegas menanyakan pada tetangga
disekitar.
“Dinda
dibawa kerumah sakit Bu Guru Lia”. Kata seorang Ibu. Bagai tersambar petir mendengar
kabar tersebut, aku hanya diam mematung.
“Bu
Guru Lia…Bu Guru Lia…..!”
Aku
langsung membawa lari motorku dengan kecepatan tinggi. Aku ingin memberitahu Ibu
dan mengajaknya menjenguk Dinda.
****
Ternyata
Dinda keguguran. Kandungan mudanya harus hancur demi sebuah pekerjaan. Dinda
ikut bekerja bersama suaminya memupuk pohon sawit. Pekerjaan yang sangat berat.
“Dinda
ngotot ingin ikut saya kerja. Saya larang, tapi dia marah.” Mas waras memberi
penjelasan padaku dan Ibu.
“kenapa
dia ngotot sekali ikut kerja Mas?”
“Karena…..karena
Ayahnya kecelakaan dan membutuhkan biaya untuk operasi. Kakinya patah sangat
parah”.
“Ya
Allah….”. Gumam Ibu.” Kenapa tak bilang, Ibu kan bisa pinjamin uang pada kalian”.
Tiga
hari di rumah sakit, Dinda sudah boleh pulang. Untung tidak kenapa-kenapa pada
tubuh Dinda. Hanya calon buah hatinya yang telah raib, kembali kepangkuan
Ilahi. Tak terkira rasa sedih hati sepasang suami istri muda itu.
Seakan
cobaan tak berhenti datang menghampiri Dinda dan suaminya. Kali ini Dinda
datang dengan muka sembab.
“Pemilik
gubug itu meminta kami pindah karena gubugnya akan dipakai untuk berjualan
lagi. Saya bingung. Suami belum pulang kerja. Akan pindah kemanakah kami ini?”.
Terisak-isak Dinda dipelukan Ibu.
*****
Satu
bulan sudah Dinda dan suaminya tinggal di rumah kami. Awalnya mereka menolak
untuk tinggal dirumah kami. Tapi dengan halus Ibu meminta mereka tinggal di
rumah ini sampai mereka bisa membangun sebuah rumah.
Selama
tinggal serumah ini, aku bisa melihat kebahagiaan yang tercipta dari pasangan
suami istri ini. Cinta tanpa syarat, itulah yang kulihat. Mas waras adalah laki-laki
dengan tampang pas-pasan. Tamatan Sekolah Dasar. Menikahi Dinda tanpa ada modal
apapun. Hanya modal cinta, begitu menurut Dinda. Tapi bagi Dinda, Mas Waras
telah memiliki segalanya. Laki-laki baik yang jarang sekali ditemukan pada
zaman sekarang ini. Kehidupan yang lurus dan selalu mensyukuri yang ada, begitu
ajaran Mas Waras pada istrinya. Dinda yang cantik dan tamatan Sekolah Menengah
Atas pada akhirnya takluk hatinya pada laki-laki tipe Mas Waras.
Sekembalinya
aku penataran dari kabupaten, aku tak mendapati Dinda dan suaminya. Ibu bilang
mereka sudah pindah.
“Mereka
mendirikan gubug kecil di kebun karet kita Lia. Ibu tak tega melepas mereka,
tapi mereka tetap pindah. Cinta mereka begitu
kuat, saling berbagi dan memberi. Ibu yakin mereka bisa membangun rumah
secepatnya karena mereka ulet bekerja.”
Aku
lalu pamit untuk menjenguk Dinda. Membawa bungkusan berisi klambu tidur untuk
Dinda. Aku tahu, di kebun karet pasti sangat banyak nyamuk. Bahaya kalau tidur
tidak memakai klambu. Bisa-bisa terkena demam malaria. Dari jauh sudah nampak
bangunan gubug yang sangat sederhana. Kecil dan beratap daun ilalang yang
tersusun rapi. Tanpa sadar, aku meneteskan airmata. Aku sedang dalam pencarian
jodoh, tapi apakah aku bisa menerima cinta tanpa syarat seperti Dinda?
***
Pontianak, 9
September 2012
06:16 WIB
wah tulisannya bagus banget mbak, tersusun rapi dan indah. enak bacanya
BalasHapus