Cucu Mbok Nah


Cerpen Asmirizani

Raut wajah Mbok Nah semakin mengeriput termakan usia senja. Raut wajah yang dulunya dihiasi senyum ramah tamah pada siapa saja, membuatnya mendapat pekerjaan tetap sebagai orang kampung yang masih kuat menggenggam adat istiadat daerahnya.
Mbok Nah, begitulah panggilan orang kampung untuknya. Entah siapa nama asli perempuan berusia 85 tahun ini. Tidak banyak yang tahu, karena generasi asli setingkatnya sudah tidak bermukim di daerah ini. Daerah tempat tanah kelahiran Mbok Nah. Daerah kampung yang dulunya kuat memegang adat istiadat.
“Cuk, kamu harus menggenggam erat adat istiadat asli daerah kampung kite ini.” Kata Mbok Nah sambil meracik sirih yang siap dikunyahnya.
“Iye nek, saye maok mempertahankan dan meneruskan adat kite ni. Adat istiadat turon temuron nenek moyang kite dolok tu.” Kata gadis belia yang berumur 15 tahunan. Sambil menumbuk sepotong buah pinang untuk Mbok Nah.
“Ye. Bagos, kalok maseh maok berpegang pade adat daerah kite. Jangan macam budak-budak tu yang udah kurang beradat.” Kata Mbok Nah sesambil menguyah sirih dan sesekali menelan liurnya.
Sudah beberapa kali Mbok Nah dan cucunya menghadiri


persiapan pernikahan anak muda di kampong tempat mereka tinggal. Pernikahan yang terpaksa dilakukan karena terlampau batas saat berpacaran. Kali ini Mbok Nah dipercayakan untuk
mempersiapkan ritual pernikahan adat desa ini pada mempelai laki-laki. Ritual yang dilakukan untuk calon mempelai yang masih tergolong muda.
“Cuk, dah kau siapkan barang-barang yang kite perlukan, serte udah dicarik bahan-bahan tuk betangas budak tu?” sesambil asyik menguyah sirihnya.
“Udah nek, semalam kamek masok utan tu. Tu bendenye tu.” Kata Sumai sambil menunjuk bakul rotan tempat barang dan dedaunan sebagai bahan.
Kemaren Sumai mencari dedaunan itu sendirian masuk ke hutan yang masih terjaga tumbuhannya. Biasanya Sumai pergi bersama Mbok Nah tuk mencari dedaunan itu. Terkadang bahan-bahan juga sudah disediakan keluarga mempelai. Tapi, kali ini Sumai mencari sendirian atas kemauannya. Dia merasa khawatir pada Mbok Nah untuk ikut. Karena hari sebelumnya Mbok Nah pernah tersandung ranting kayu yang menyebabkan Mbok Nah tergelincir bergumal semak belukar. Mungkin usia juga yang membuat badannya terasa lemah dan penglihatannya mulai terganggu.
“Ayok la kite pegi, sebelum hari gelap.” Sambil memasang kain penutup kepala.”
Mereka turun dari rumah yang lebih pantas disebut sebuah gubuk. Gubuk yang berukuran sedang dengan dinding kayu simpai dan beratap daun. Berpintukan kayu yang hanya sedikit digeserkan untuk menutupkannya. Tanpa kunci besi yang terpasang di pintu gubuk itu. Perlahan Sumai menggeserkan pintu kayu yang mulai terlihat kusam. Terdengar bunyi-bunyian ngilu dari gesekan pintu berkayu itu. Mbok Nah berdiri terbongkok hanya menatap kosong cucunya.
Mereka berjalan bersama. Berjalan menyusuri setapak jalan berpasir tanpa beralaskan kaki. Sudah terbiasa bagi mereka. Mbok Nah terlitah menunduk seakan membawa beban di pundaknya. Mengenakan pakaian tertutup penuh jahitan. Sedangkan Sumai menggendong bakul rotan di pundaknya. Bakul rotan yang berisi bahan-bahan yang akan digunakan sebagai ritual. Sedangkan tangan kanan Sumai memimpin Mboh Nah menyusuri jalan. Terlihat tapak bekas kaki Mbok Nah dan Sumai menghiasi jalan berpasir. Terkadang leretan baju Mbok Nah menyapu tapak kakinya di jalan berpasir.
“Mbok Naaaaaaah.!!!” Sapa gerombolan pemuda yang asyik nongkrong di pinggir jalan.
“Cucunye dinikahkan same saye jak.” Celetuk pemuda yang lain sambil melepas tawa.
Mbok Nah hanya mengulum senyum tanpa gigi. Mbok Nah dan Sumai tidak terlalu menghiraukan ucapan-ucapan itu. Sudah terbiasa bagi mereka mendengar kata-kata ejekan saat mereka melintasi jalan berpasir ini.
Sumai, cucu Mbok Nah hanya tertunduk malu saat laki-laki menggodanya dengan kata-kata seperti itu. Tak seorangpun laki-laki yang benar-benar menatap Sumai. Tuk melihatnya saja laki-laki sudah merasa muak, karena kurang daya tarik padanya, apalagi pakaian yang tampak lusuh berjahit dengan rambut keriting terurai menggantung dan tiada cerah aura pada wajahnya.
Kata-kata yang keluar dari bibir lelaki itu hanya sebatas menggoda dan membuat bahan lelucon saja. Mereka tertawa terkekeh-kekeh sambil melontar kata-kata olok-olokkan sesama mereka. Tetapi Mbok Nah dan Sumai terus berjalan tanpa menghiraukan semua.
 # #
 “Mbok Nah, menginap di sini jak. Malam sudah semakin larut Mbok.” Kata seorang penghuni rumah
“Ye, nda ape la nak. Saye dan cucuk udah biase balek malam.” Sesambil menguyah sirihnya.
Mbok Nah dan Sumai selalu pulang ke gubuk istananya. Walaupun malam agak terlalu larut. Karena Mbok Nah merasa tenang beristirahat di gubuknya ketimbang di rumah orang lain. Bukan hanya itu, Mbok Nah mengkhawatirkan kucing kesayangan Sumai. Kucing yang menjadi teman dan sudah seperti keluarga sendiri bagi Sumai. Sewaktu kucing itu tidak pulang ke gubuk selama satu hari, Sumai selalu mencari dan terkadang banyak terdiam termangu diri tuk menunggu kucingnya berharap akan kembali
“Bagaimane kalok saye antar.” Pinta seorang pemuda
“Nda usah nak, sayekan ditemani cucu saye.” Sambil mengarahkan pandang ke Sumai.
Sumai tidak menghiraukan percakapan Mbok Nah dengan penghuni rumah itu. Sumai sibuk membereskan barang-barang bekas bertangas yang dibawanya seperti belangga tanah, saji dan sengkalan ke dalam bakul rotan yang akan digendongnya pulang.
Mungkin akan terasa ringan bakul rotan yang akan digendong Sumai pulang, karena bakul yang digendong Sumai berisi barang-barang betangas saja, sedangkan bahan-bahan betangas dan buang-buang sudah tak tersisa. Mbok Nah dan Sumai pamit pada tuan rumah mempelai.
“Terima kasih Mbok Nah. Besok jangan lupa datang.” Sambil menyelipkan sebuah amplop pada tangan kanan Mbok Nah.
Mbok Nah selalu dibekali tuan rumah yang mengadakan ritual sebelum pernikahan seperti itu jika hendak pulang. Entah apa yang berisi dalam amplop, Mbok Nah tidak pernah tahu. Amplop-amplop dari pembekalan orang yang mengadakan pernikahan selalu disimpannya pada belek (kaleng). Tanpa satu amploppun yang dibukanya.
Mbok Nah dan Sumai berjalan kembali ke gubuk mereka dengan membelah malam yang membisu, dengan sejuk kaki tak beralas menginjak tanah yang terasa bagai es. Menapak jalan yang terasa semakin sempit. Sempit.
Bahkan menghilang ditelan gelap. Itulah hari terakhir Sumai yang tak terlupakan bersama Mbok Nah. Kini hanya sebagai kenang-kenangan adanya wanita tua renta yang pernah menyanyanginya dengan tulus dan memberikan pelajaran baginya. Wanita yang telah menjadi sosok nenek, ayah, bahkan sekaligus Ibu bagi Sumai.
# #
Pagi telah menanti, Sumai terlelap tak sadarkan diri. Embun pagi menghiasi dedaunan setiap sisi. Tak luput pula embun menghampiri atap nipah gubuk yang kini hanya dihuni seorang diri oleh Sumai. Kucing kesayangan Sumai tampak menyelinap-menyelinap manja di bagian tubuh Sumai seakan membangunkan Sumai untuk mengajak bermain. Kini Sumai bertemankan anak kucing belangnya. Tak ada lagi sosok perempuan renta yang setiap pagi membangunkannya dengan hentakan penumbuk pinang yang selalu membuat telingganya berdiri serta matanya melotot terbangun dari kelelapan tidur. Tapi pagi ini Sumai terlelap tidur karena keletihan yang dirasakannya. Keletihan banyak melaksanakan ritual buang-buang dan bertangas para mempelai. Bulan-bulan ini banyak pasangan yang akan melangsungkan pernikahan. Walaupun tidak seluruh calon mempelai melaksanakan ritual yang sudah dianggap masyarakat kampung tidak harus ada lagi pada zaman modern sekarang.
Mbok Nah, nama itu yang selalu terngiang-ngiang di lobang telinganya. Sosok yang selalu dirindukannya beberapa tahun terakhir ini. Sosok yang telah tiada beberapa tahun lalu.
Kejadian yang merenggut Mbok Nah, kini masih teringat di benak Sumai.
Kini Sumai tumbuh semakin menjadi wanita dewasa yang kini telah menjadi bunga desa. Wanita yang selalu dikagum-kagumi setiap pria, muda maupun tua. Entah mengapa semua mata pria menganggap saat sekarang Sumailah yang paling tercantik. padahal Sumai tidak begitu pandai berdandan seperti wanita-wanita di kampungnnya. Sampai-sampai pemuda yang mengejeknya dulu, kini tergila-gila padanya. Berpuluh-puluh kali Sumai mau dipersunting pemuda yang sudah mengejeknya itu. Tapi sudah berkali-kali juga Sumai menolak cintanya.
“Sumai…Sumai…Sumai….” Teriak seorang Ibu dari luar gubuknya. Sambil mengetuk pintu rumahnya yang sedikit bercelah.
Bukan mengetuk, lebih tepatnya memukul. Terasa bergoyang dinding rumah berkayu yang melapuk itu.
“Keluar kau, wanita kurang ajar.”
Terdengar suara parau Ibu-ibu. Sumai terkejut terbangun dari lelapnya. Berdiri menghadap pintu dan membukanya. Puluhan Ibu-ibu berdiri di depan pintu rumahnya. Dengan merasa ketakutan luar biasa, Sumai menutup pintunya kembali untuk berlindung. Ntah apa yang menyebabkan Ibu-ibu itu berkumpul dengan wajah kemarahan di depan gubuknya. Kemarahan Ibu-ibu semakin menjadi, karena Sumai tidak mau keluar rumah. Terdengar gedoran tangan-tangan itu menghantam dinding kayu gubuk peninggalan Mbok Nah. Suara-suara cacian terus menghantam dirinya yang tak tahu sebab musababnya yang menjadikan Ibu-ibu itu penuh kemarahan.
# #
 Rasa takut yang teramat sangat membuat Sumai tidak mau membuka pintu gubuknya. Ibu-ibu semakin bergejolak dikuasai nafsu dan mengancam membakar gubuk yang dibilang mereka terkutuk. Sumai diduga anak haram yang dihasilkan Mbok Nah saat masih muda dulu. Sumai diduga merupakan wanita penghisap aura-aura para lelaki yang menimbulkan wabah penyakit yang menyebabkan suami para Ibu-ibu terbaring di rumah tak berdaya. Sumai juga diisukan merupakan keturunan Mbok Nah yang menyalahgunakan ajaran Mbok Nah. Ntah ajaran apa yang dimaksudkan warga. Serta bagi warga kampung, Sumailah yang membuat pernikahan dalam rumah tangga menjadi kandas, karena ritual adat yang dilaksanakan Sumai merugikan warga yang tak melaksanakan ritual adat sebelum pernikahan itu. Sebagian warga yang modern cenderung tidak mau lagi melakukan ritual adat seperti itu, karena bagi mereka zaman sudah modern. Banyak beranggapan bahwa Sumai menyebabkan kampung tersebut penuh malapetaka.
        Terdengar sendu tangisan Sumai di dalam gubuk itu. Tagisan yang tak terdengar oleh seluruh Ibu-ibu di luar gubuk. Tangisan yang perlahan mengecil. Semakin mengecil. Dan sesaat lenyap menghilang, saat api berkobar menghanguskan gubuk yang sudah lama tertanam di pedalaman kampung itu.
           Di sudut lain dari kejauhan, berdiri sosok pemuda gagah dengan melipat tangan di dada, penuh senyum menyungging menghadap gubuk yang telah berselimut api.

Sumber: cerpen asmirizani

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.