Senandung Mentari

Cerpen Addien Sjafar Qurnia


Aku masih melihat gadis itu di sana. Duduk manis di selasar kelas kami. Sendiri. Hanya ditemani sepercik gerimis akibat sisa hujan tadi pagi. Sesekali kulihat ia menarik nafas panjang. Mungkin, untuk menyesap aroma rumput basah yang diterbangkan semilir angin yang berhembus nakal.
“Sendirian?” tanyaku setelah mendekat. Ia menoleh, lalu mengangguk kecil.
“Jangan sering sendirian, bahaya,” lanjutku seraya duduk bersisian dengannya. Sementara gadis itu hanya menyambutku dengan satu senyuman tipis.
Selalu saja begitu. Sejak aku pindah ke sekolah ini sebulan silam, terhitung hanya
dua kali aku mendengar gadis itu bersuara. Pertama, minggu lalu saat menjawab salamku ketika aku masuk kelas. Dan kedua, tadi pagi ketika Bu Nur, guru Bahasa Indonesia kami memintanya melantunkan sebait syair. Sejenak aku terkagum akan suara jernihnya yang jarang terdengar.
Selebihnya, Mentari, gadis peranakan Belanda itu lebih memilih mengunci rapat bibir tipisnya. Entah untuk alasan apa, aku tak tahu. Walau sebenarnya, aku sangat tertarik untuk mencari tahu.
“Sudah punya pasangan untuk tugas Bahasa Indonesia?” tanyaku memecah kebekuan yang tercipta diantara kami. Terbayang di mataku tugas yang diberikan oleh guru favoritku, yang mengharuskan kami mencari pasangan untuk bersyair.
Ia menggeleng kecil, “Belum,” jawabnya singkat.
“Kenapa?” aku bertanya lagi. Hatiku bersorak gembira karena merasa kesempatan untuk mengenal Tari terbuka lebar.
 Nggak ada yang mau pasangan sama aku,” jawabnya dengan sinar mata redup.
Bareng aku aja mau nggak?” tawarku mantap.
“Serius?” ia menatapku seolah tak percaya. Aku mengangguk untuk meyakinkan bahwa tawaranku tidak main-main.
“Kenapa kamu mau pasangan sama aku?” ia bertanya heran seperti menyangsikan tawaranku.
Emang nggak boleh ya?” aku balik bertanya.
“Kamu baru sih di sini. Jadi belum tahu banyak tentang aku. Nanti kalau kamu udah tahu, kamu juga bakalan ninggalin aku sendiri. Sama kayak teman-teman yang lain. Tapi bolehlah, dicoba aja. Thanks atas tawaranmu,” lanjutnya sembari tersenyum, lalu meninggalkanku dengan sejuta penasaran yang tertinggal di kepala.
☻☻☻
Isyarat waktu istirahat berakhir terdengar garang. Aku bergegas masuk kelas, lalu menghempaskan diri di kursi pojokan belakang. Sempat kulirik Tari yang duduk tak jauh dariku, sebelum kemudian menenggelamkan diri untuk menyelesaikan persamaan reaksi reduksi oksidasi.
“Bruk...” hempasan suara kursi memecah konsentrasiku. Kepalaku menoleh cepat ke arah sumber suara. Untuk beberapa saat, jantungku seolah berhenti berdetak. Aku terlalu kaget hingga tak dapat berbuat apa-apa, ketika gadis manis berperawakan tinggi besar itu menggelepar-gelepar tepat di hadapanku. Tubuhnya mengejang. Bola matanya mendelik seperti menahan rasa sakit yang luar biasa. Dari sudut bibirnya yang mungil, keluar cairan bening yang amat banyak.
Dengan sigap, beberapa teman kami meregangkan tangannya. Lalu memijit-mijit pundak tegap itu dengan halus, seolah mereka telah terlatih untuk menghadapi situasi seperti ini.
“Dia kenapa?” tanyaku terbata pada Esti yang duduk di sampingku sembari menenangkan diri akibat degup jantung yang tidak menentu. Maklumlah, karena sejak pertama kali ditempatkan di kelas yang sama dengannya, baru kali ini aku menyaksikan Tari kelojotan, ketika aku sedang berada di kelas.
Ndak apa-apa, Fay. Penyakitnya sedang kambuh,” jawabnya singkat tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut.
“Dia sakit apa? Seberapa sering penyakitnya kambuh saat jam pelajaran?” tanyaku beruntun sambil sesekali melirik cemas ke arah Tari yang mulai tenang.
“Ayan. Ndak sering, ini yang ketiga kali. Dulu sewaktu kami kelas sepuluh lebih sering lagi kambuhnya,” halus suara gadis itu menjawab pertanyaanku.
Aku hanya mengangguk-angguk dan kembali melanjutkan aktivitasku yang sempat terhenti beberapa jenak. Lelah aku memaksa otak untuk tidak menghubungkan kejadian ini dengan cerita Tari tadi pagi. Namun aku hampir yakin, bahwa penyebab gadis itu menutup diri adalah penyakit yang dideritanya.
 “Itu sebabnya kenapa selama ini kamu nggak pernah lihat aku bareng sama teman-teman yang lain. Aku sakit, Fayza. Penyakitku yang membuat mereka enggan mendekat. Mereka malu dan jijik berteman dengan penderita epilepsi. Mungkin kamu juga merasakan hal yang sama,” jelasnya ketika kami berada dalam perjalanan pulang.
 Aku menggeleng, “Kau salah, Tari. Bukan kami enggan berteman denganmu. Tapi, bentengmu terlalu kokoh untuk ditembus. Kau hidup hanya untuk duniamu saja. Padahal kau sangat tahu, tak ada satu pun teman-teman kita yang mengabaikanmu ketika kau sakit. Tapi, kau lebih memilih sepi sebagai temanmu.”
“Sepi tak pernah menistakan aku, Fay. Sementara mereka bermuka manis di hadapanku, lantas mengolok di belakang. Aku lelah dengan semua ini. Hidupku sudah runyam. Mendengar mereka mengoceh tentangku membuat hariku semakin rumit. Akan lebih baik jika aku menghindar,” pupilnya menumbukku tajam.
“Tapi, kau tak bisa terus-terusan menghindar. Jika kau sudah merasa hidupmu rumit, maka jangan dipersulit. Allah telah menghamparkan ladang kesabaran buatmu. Maka nikmati jamuan-Nya. Aku yakin, kau akan merasa bahagia. Dan satu yang perlu kau ingat, Ri, aku nggak pernah malu berteman denganmu,” ujarku mantap.
☻☻☻
Bilik rindu,
pada suatu waktu

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.