Mimpi Tak Sempurna
Cerpen Addien Sjafar Qurnia
Mun terjaga dari mimpi ketika bis tua
antar kota yang ditumpanginya memasuki kawasan terminal Batulayang. Kepalanya
sontak berdenyut mendapati suasana terminal yang tampak begitu bising siang itu.
Deru mesin kendaraan yang ditingkahi letupan klakson terdengar memperparah keadaan.
Matahari yang bersinar terik sepanjang musim kemarau, ditambah debu-debu yang
beterbangan di udara semakin membuat cuaca tampak tak bersahabat.
Wanita sederhana itu turun dari bis
dengan tas tergenggam erat di tangan. Wajahnya yang putih, tampak semakin pucat
dan letih lantaran mabuk di sepanjang perjalanan. Jarak tempuh yang jauh, ditambah dengan kondisi jalan yang sulit
membuat wanita muda itu limbung. Sehingga ia berusaha mencari pegangan di salah
satu sudut pos penjagaan.
“Kemane Kak?” tanya seorang lelaki
dengan logat melayu yang khas.
“Kotabaru keh Jeruju?”
Mun hanya terdiam sembari menyodorkan
secarik kertas berisikan alamat.
“Ough,” lelaki itu manggut-manggut dan menunjuk ke
arah sebuah bis kota bernomor nol sembilan.
Mun memejamkan mata. Lelah. Tulang
belulangnya terasa remuk. Batinnya galau sebab pertengkaran dengan Abah kemarin
malam, sebelum ia memutuskan untuk pergi.
“Ha, kau tengok sekarang!”
“Benarkan kata-kataku.”
“Lelaki pengangguran itu tak bisa
ngasih kau makan.”
“Dia seniman Bah, bukan pengangguran.”
“Kalau bukan pengangguran lalu apa?”
tanya Abah dengan mata melotot sementara Mun hanya diam.
“Berkali-kali aku bilang, jangan kau
nikah sama dia! Lelaki tak jelas yang kerjaannya cuma genjrang-genjreng main
gitar.”
“Tapi aku cinta sama dia, Bah.”
“Orang hidup perlu makan Mun. Dan cinta
tak bisa kautanak.”
“Lihat sekarang, habis ini kau ditinggal suamimu
yang seniman itu.”
Mun hanya tersenyum perih mengenang kata-kata
pedas yang terlontar dari mulut Abah, lelaki yang tak pernah menyetujui
pernikahannya.
Mun merenung. Mencoba menelaah kembali
alasan keberangkatannya. Sembari memantapkan hati dengan segala kemungkinan
yang bisa saja terjadi.
Hhhh...
Aku harus menemukannya, bisik
hatinya.
Isi perut Mun kembali bergolak ketika
kendaraan itu mulai bergerak. Bau asap hitam solar yang tak terbakar sempurna, terasa
menggelitik hidung. Sehingga membuat wanita cantik itu cepat-cepat menutup
hidungnya yang mancung dengan jemari tangan. Sesekali, ia melempar pandangan
keluar jendela sambil berusaha menikmati pemandangan kota Pontianak yang baru
pertama kali didatanginya.
“Itu anak-anak sanggar lagi latihan
nari untuk acara kulminasi,” jelas seorang wanita tua baik hati teman
seperjalanannya, ketika ia mendapati wajah Mun bengong saat melihat keramaian
di depan tugu Khatulistiwa.
“Kapan acaranya Bu?”
“Minggu depan.”
Mun mengangguk-angguk. Bibir mungilnya
membulat.
Wanita tua di sampingnya terdiam, dan
mengalihkan pandangan ke depan. Ia lalu mulai menggerutu. Mengutuki pak supir
yang mengemudikan bis dengan sangat lambat.
“Stop kiri.”
“Tanjung Raya Kak,” suara itu mengejutkan Mun yang sedari
tadi memejamkan mata. Segera ia turun setelah terlebih dahulu membayarkan
sejumlah uang yang diminta oleh kondektur.
Ia lalu menyeberangi ruas jalan ketika
lampu trafficlight berubah merah. Dengan langkah hati-hati, ia berhenti
tepat di depan pintu gerbang berwarna kuning milik Istana Kadriyah yang berada
di muka jalan.
Dari kejauhan tampak Ipah, sahabatnya,
telah menanti.
@ @ @
“Aku tak tahu harus nyari Bang Jul kemana
Kak.”
“Die tak pernah ngasi kau alamat keh?”
tanya Ipah sambil membolak-balik keripik keladi yang digorengnya dalam sebuah
wajan besar.
“Tak ada. Sewaktu di kampung, Bang Jul
cuma bilang mau kerja di sini. Tapi ntah
kerja apa aku pun tak tahu,” ucap Mun sedih.
Ipah menggelengkan kepala. Prihatin
terhadap nasib yang menimpa sahabat kecilnya. Lelah ia membayangkan kehidupan
berat yang dijalani oleh Mun. Pernikahan tanpa restu dengan seorang lelaki yang
memiliki pekerjaan tak menentu.
“Sementara ini, kau tinggallah dulu di
rumah Kakak. Nanti kita cari suamimu sama-sama.”
Mun hanya mengangguk, lalu melempar
pandangan keluar. Menatap ke arah anak-anak kecil yang berlarian mengejar
layangan di sepanjang jembatan kayu yang menghubungkan gang-gang sempit di
kampung itu. Kampung Beting, kawasan padat penduduk di salah satu sudut kota
Pontianak. Sesekali ia tersenyum dan menyapa ramah kepada beberapa ibu muda
yang berjalan menenteng keranjang cucian, menuju ke arah sungai Kapuas yang
berada tak jauh dari rumah Ipah.
“Mun, Kakak mau berangkat jualan. Kau
tinggallah di rumah sebentar.”
“Jualan dimana Kak?”
“Di korem. Itu di seberang,” jelas
Ipah sambil menunjuk ke satu arah di seberang sungai.
“Aku ikut Kak. Tak mau lah aku tinggal
sendiri.”
“Ayolah,” ajak Ipah tersenyum.
Tanpa banyak cakap, Mun menaiki
boncengan sepeda motor Ipah yang siap meluncur ke jalanan.
@ @ @
Malam mulai merangkak turun. Mun termenung
di depan kedai milik Ipah. Wanita cantik itu muram. Lantaran hingga saat ini, tiga
bulan sejak kedatangannya, tanda-tanda keberadaan Jul masih belum terlihat.
Lelah sudah ia mencari. Mengitari kota
setiap pagi bersama Ipah sambil menunjukkan foto diri suaminya yang ia bawa. Lelaki
tampan yang telah menaklukkan hatinya dengan suara merdunya. Lelaki yang
menggaungkan mimpi akan kehidupan yang mapan untuk Mun dan keluarga kecil yang
mereka bangun bersama. Mimpi-mimpi yang membuatnya terus bertahan di tengah cemoohan
keluarganya yang sangat tidak setuju dengan pernikahan mereka.
Apakah sebaiknya pencarian ini dihentikan?
Mun menggelengkan kepala, lalu
beranjak ke arah wanita-wanita cantik berpakaian mini yang sedari tadi melambai
ke arahnya. Tak lupa ia membawa sebuah catatan kecil untuk mencatat pesanan
para pelanggan.
“Kak Ipah, dari dulu aku perhatikan, banyak ya
cewek model begitu di sini,” wanita lugu itu akhirnya tak tahan untuk tidak
berkomentar atas pemandangan yang kerap dilihatnya berbulan belakangan.
“Cewek yang mana?” tanya Ipah dengan
tatapan bingung.
“Itu. Yang duduk di pojok, yang tadi
pesan makanan,” Mun menunjuk dengan isyarat mata.
Ipah tertawa lebar.
“Itu bencong,” singkat jawaban Ipah
disela tawa membuat Mun ternganga.
“Astaghfirullah,” desah wanita kampung
itu berkali-kali.
Aku kan menghilang dalam pekat malam
Lepas kumelayang
Biarkan kubertanya pada bintang-bintang
Tentang arti kita dalam mimpi yang sempurna[1]
Mun terkesiap saat mendengar lagu
favoritnya dilantunkan oleh satu suara yang sangat ia kenal.
“Kak Ipah, itu suara Bang Jul,” ucap
Mun sumringah.
Wanita muda itu bergegas keluar mencari sumber
suara. Namun, tak tampak dimatanya lelaki tampan yang ia rindukan selama ini. Yang
tampak dari kejauhan hanyalah seorang bencong berkulit putih dengan gaun biru
yang cantik.
Penasaran, Mun mengejarnya.
“Masya Allah, Bang Jul,” setengah
berteriak Mun menatap bencong cantik bergaun biru itu dengan pandangan jijik.
@ @ @
Leave a Comment