Bukan Cinta Semusim

Cerpen Addien Sjafar Qurnia

Aku bergegas memasuki ruang tamu yang tampak suram. Meletakkan tas kerjaku di atas meja dengan tergesa, lalu mengedarkankan pandangan ke sekeliling. Keadaan rumahku seperti tak layak huni. Bagaikan kapal yang terkena hantaman angin puting beliung. Porak poranda. Kursi dan meja berantakan. Bahkan vas bunga penghias meja, hancur berserakkan di lantai.
Dari ekor mata, kutangkap sosok mungil yang sedang menangis sesenggukan di sudut ruang. Wajahnya pias dengan tubuh bergetar hebat. Sementara mata kecilnya yang tajam, menatap ke arahku dengan pandangan tak bersahabat.
“Ada apa? Kenapa kau menangis?” tanyaku beruntun seraya mengusap air matanya.
Wanita itu bungkam. Tak berucap sepatah kata pun. Bibirnya mengerucut sebelum
kemudian berteriak, “Kemana kau sembunyikan kunci motorku? Aku ingin ke dokter. Kepalaku pusing, ada tikus yang berlari-lari di kepalaku.”
“Sstt... Malika tenang ya, Sayang? Nanti kita usir tikusnya sama-sama,” ujarku seraya mengusap pipinya yang masih dipenuhi genangan air mata, sementara ia hanya bisa menangguk kecil.
Aku menarik nafas panjang. Berusaha melegakan dada yang terasa menyempit. Tiba-tiba saja seluruh sistem syarafku seperti kehilangan koordinasi. Kepalaku berdenyut. Dadaku berdebar kencang memikirkan keadaan Malika. Wanita cantik yang kusunting lima tahun silam itu, kembali menunjukkan ketidakberesan yang sangat mengkhawatirkan.
Ia berjalan mondar-mandir di hadapanku sembari menggumamkan sesuatu yang tak jelas. Untuk kesekian kalinya dalam beberapa minggu terakhir, ia mengamuk tanpa sebab. Seolah, berada dalam tekanan psikologis yang luar biasa berat.
Entah  apa lagi yang akan dilakukannya hari ini. Tak bisa diprediksi. Seperti dua hari yang lalu, ia kabur dari rumah. Kutemukan ia di kompleks pasar inpres dengan keadaan yang sangat parah. Bergaya ala Napoleon Bonaparte, dengan rambut diikat ekor kuda. Bicaranya meracau, sehingga menjadi bahan tertawaan orang-orang yang lewat.
Allah... tak sanggup aku melihat kekasihku dalam keadaan seperti itu. Hingga akhirnya kuputuskan untuk mengurungnya di rumah. Walau aku tahu bahwa itu bukanlah sebuah langkah yang bijaksana karena hanya akan membuat jiwanya yang rapuh semakin tertekan.
♥♥♥
Aku melayangkan pandangan pada malam yang masih ingusan. Bulan separuh tampak berani melayarinya, sendiri. Sama sepertiku yang tengah menatapnya sendiri dari teras belakang rumah kami yang berada di bantaran sungai Mempawah. Hanya sendiri. Tanpa keberadaan Malika yang biasa menemaniku menikmati malam turun bersama para dedayangnya. Sebab, ia telah tertidur pulas sejak kuberi sebutir obat yang kudapat dari dokter Anis tadi sore.
“Kau belum tidur, Faisal?” suara Emak mengegetkanku. Entah sudah berapa lama wanita sepuh itu duduk bersisian denganku. Ia baru saja tiba tiga jam yang lalu setelah kukabari perihal keadaan menantunya yang semakin parah.
“Belum, Mak,” jawabku tanpa menoleh.
“Sudah kau pertimbangkan saranku kemarin?”
“Sudah, Mak. Tapi aku tak hendak.”
“Emak memintamu menikah lagi bukan tanpa pertimbangan, Faisal. Emak kasihan melihat kau tak ada yang mengurusi. Semua pekerjaan rumah kau yang ambil alih. Ditambah lagi harus mengurusi istrimu yang sakit. Sedih Emak melihatmu begini. Jika kau menikah dengan Hafsah, maka dia yang akan mengurusi engkau dan istrimu,” jelas wanita itu panjang lebar sembari menatap iba di kedalaman mataku.
“Aku bisa mengurusi diriku sendiri, Mak,” ucapku perlahan setelah terdiam cukup lama.
“Lagi pula, aku tak yakin Hafsah mau menerimaku sepaket dengan Malika. Kalaupun dia mau, aku tak ingin, sebab aku mencintai istriku. Sangat mencintainya bagaimana pun keadaan dirinya sekarang,” lanjutku merentang senyum yang hanya disambut Emak dengan gelengan kepala.
Entah sudah berapa kali desakan serupa ini sampai ke telingaku. Tidak hanya dari Emak, bahkan orang tua Malika pun kerap menyarankanku untuk menikah lagi. Tapi cinta yang mengakar di dalam hatiku terlalu kuat sehingga aku selalu menolak.
Bagiku, menetapkan cinta pada seoarang Malika saja adalah perkara mudah. Kesulitannya hanyalah memberikan pengertian pada mereka, keluarga besar kami yang selalu menatap iba lantaran perempuan yang kucintai itu menderita skizofrenia akut sejak putri semata wayang kami kembali ke hadapan-Nya dua tahun silam.
“Emak hanya tak ingin kau susah sendiri.”
“Percayalah, Mak. Aku sanggup melewati semuanya. Aku hanya perlu doa dari Emak,” ujarku seraya mencium lembut pipi beliau yang telah keriput.
“Terserah kepadamu, Faisal. Emak tak bisa memaksa jika kau tak hendak,” wanita tua itu tersenyum sebelum tenggelam di balik pintu.
Malam masih merangkak diiringi bulan separuh yang terlihat pucat. Kusut masai serupa wajahku malam ini. Tetapi setidaknya aku bisa bernafas sempurna. Sebab Emak mendukung keputusan yang kupunya. Semoga Allah memberikan waktu kepadaku untuk membuktikan bahwa cintaku pada Malika tak lekang oleh pergantian musim.

♥♥♥

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.