Gemintang Petang

 Cerpen Tri Hartati

Langit membias dari sekumpulan bintang terang. Mayapada temaram membungkam dalam malam yang semakin mengelam. Suara mendesir dari angin yang menari membelai pucuk dedaunan. Gemericik air turun dari pancuran membelah sunyi yang mengilukan hati. Suara-suara makhluk malam dari lubang perlindungan hanya
sebagai orkestra yang menambah gigil jiwa. Jiwa-jiwa itu yang sedang bersembahyang beralaskan tikar pandan. Doa suci menjadi cahaya lebih terang dari bulan malam.
Gadis kecil masih memandang langit dengan mata indahnya yang berpijar diseantero kampung. Bibir mungilnya melukis gemintang petang dengan syair dalam jiwanya yang putih.
“Nak, tutup jendelanya sudah mulai gelap. Angin malam bisa membuatmu  masuk angin”. Suara sang ibu membuyarkan sajak indahnya yang hampir jadi.
“Coba ibu lihat, bintang-bintang itu indah sekali jika waktu petang mulai datang”. Katanya tanpa sedikitpun menoleh pada ibunya.
“Ah, itu kan sudah setiap hari kita melihatnya. Masa kamu baru tahu”. Ujar ibunya setengah bercanda.
“Sudah sering Wulan melihatnya Bu, tapi Wulan tidak ada bosan-bosannya untuk melihatnya lagi”. Katanya sambil menutup daun jendela.
“Memang indah ciptaan Tuhan Nak, makanya kita harus selalu mensyukurinya dengan kewajiban kita, yaitu…..”.
“Shalat lima waktu dan selalu bersyukur dengan apa yang Tuhan beri pada kita”. Tukas Wulan cepat. “Dan sekarang Wulan akan shalat, hehehe”. Gemas sang ibu melihat anaknya yang pintar itu.
Lalu sunyi kembali menjadi ciri khas sebuah perkampungan yang dilengkungi oleh perkebunan dan ladang. Bagi Wulan, kampungnya adalah yang paling indah. Alam benar-benar telah menyatu dengan jiwanya dari semenjak lahir. Kehijauan pepohonan yang meliuk-liuk terkena angin yang segar, ladang-ladang yang bertunas palawija, juga keramahan orang-orang disekitarnya.
Wulan memang dikenal dengan gadis cilik yang ayu, cerdas, ramah dan baik. Semua orang menyukainya karena keceriaan dan keriangannya yang selalu dapat menghibur orang-orang disekitarnya. Sehari-hari selain bermain dengan teman-temannya, ia membantu orang tuanya di kebun. Kebunnya penuh dengan tanaman palawijaya, memang sebagian besar penduduk di kampung itu bermata pencaharian menjadi petani. Kampungya jauh sekali dari kota dan belum dialiri listrik. Walaupun begitu kampung ini sudah mempunyai balaidesa, puskesmas dan gedung sekolah.
Tahun ini Wulan akan lulus Sekolah Dasar. Orang tuanya sudah berencana akan menyekolahkan Wulan ke kota, karena gedung SMP belum ada di kampung ini. Wulan akan menumpang dirumah famili ibunya. Bagi orang di kampung ini, sekolah masih bukan prioritas utama. Selain pendapatan mereka yang kecil, juga masih belum terbuka pemikiran mereka yang terbelakang. Lain halnya dengan orang tua Wulan yang memang sering mengobrol dengan kepala Desa dan  guru-guru di sekolah Wulan. Dari situlah mereka mendapatkan pencerahan. Selain itu, ibu Wulan mempunyai adik di kota yang sudah sukses karena berhasil menjadi sarjana.
Alangkah sedihnya Wulan ketika bapaknya mengutarakan hal itu. Dalam hatinya tak ingin berpisah dengan mereka, karena Wulan adalah anak satu-satunya, pastinya orang tuanya akan kesepian. Terlebih lagi, Wulan cemas jika di kota tak ada gemintang petang seperti yang ada di kampungnya.
Akhirnya hari perpisahan itupun terjadi. Wulan lama sekali memeluk ibunya. Matanya yang bening dan terang tampak memburam karena tangisnya yang sedari tadi tak bisa diredam. Begitu pula dengan ibunya yang menitikkan airmata dibalik keteguhannya. Ayahnya diam, menahan luka dan kepedihan. Anak sekecil Wulan harus berpisah dengan ibunya, yang seharusnya masih bermanja-manja.
Mobil yang membawa Wulan menuju kota telah melewati batas kampung. Debu-debu berwarna coklat beterbangan memenuhi jalan. Wulan masih sesenggukan. Bibinya dengan lembut membelai rambut gadis ayu itu. Dibisikkan kata-kata penghibur.
Ternyata sulit sekali bagi Wulan beradaptasi hidup di kota. Semuanya serba canggih. Semuanya serba dengan alat elektronik. Beberapa kali ia harus menahan malu ketika di sekolah harus mengetik dengan menggunakan computer. Badannya gemetaran karena tak tahu bagaimana cara menggunakannya. Belum lagi kerinduannya pada orang tuanya membuatnya setiap malam menangis. Namun ketegaran dan keceriaannya mampu mengalahkan rasa sedihnya. Dengan semangat yang tinggi, ia selalu belajar untuk mengejar teman-temannya yang lebih pandai dalam ilmu pengetahuan.
Setiap malam Wulan merenung dilotengnya. Memandang langit. Gemintang petang ia cari, namun terhalang dengan bangunan besar dan kokoh. Ia kecewa sekali. Warna langitnya pun tak sama dengan di kampungnya. Warna langit dikota tidak jernih, kehitam-hitaman.
Semester pertama dilaluinya dengan penuh ketabahan. Nilai rapornya ternyata tidak seperti yang ia harapkan. Banyak nilai yang tidak tuntas, terutama matematika, fisika dan bahasa inggris. Wulan merasa sudah mengecewakan semuanya. Ayahnya datang saat pembagian rapor. Wulan tak bisa mengatakan apa-apa pada Ayahnya. Namun Ayahnya sangat pengertian, memberinya dorongan semangat agar jangan putus asa. Keluarga paman juga menyemangatinya. Hati Wulan sedikit lega.
Untuk melarikan perasaannya yang sedih dan kerinduannya pada kampungnya, Wulan mencoba melukis dengan pensil. Diambilnya kertas gambar dan dengan imajinasinya ia menelusuri kampungnya lalu menuangkan lewat goresan-goresan tangan lentiknya.
Tak disangka, gambar itu membentuk sebuah persawahan dengan gubug yang beratapkan ilalang. Aku rindu sekali dengan suasana sawah  yang berbau lumpur dan daun-daunnya yang hijau, bisiknya.
***
Pada semester berikutnya Wulan bisa bersaing dengan teman-temannya disekolah. Nilainya mulai terlihat bagus-bagus. Guru-guru mulai banyak yang memujinya karena rajin, sopan dan baik. Dia menjadi gadis yang sederhana, namun bintang dimatanya mulai tampak. Gadis Desa yang mulai bersinar dengan kecermelangan otaknya. Terlebih lagi guru seninya mulai memperlihatkan bakat melukis yang ada pada diri Wulan. Beberapa kali guru seninya terkagum-kagum dengan hasil lukisan Wulan yang menurutnya sangat mempesona. Lukisan itu seolah-olah hidup, mewakili sang pencerita. Teman-temannya juga tahu, bahwa Wulan bisa menggambar apapun, baik yang baru saja dilihatnya ataupun dengan imajinasinya.
Kehebatan Wulan dalam melukis sampai kepada Kepala Sekolah. Kepala Sekolah meminta kepada guru seni untuk mengikutsertakan Wulan dalam lomba melukis tingkat kotamadya. Wulan dan dua orang siswa lainnya mendapat pelatihan khusus dari guru seninya, untuk persiapan lomba yang akan diadakan satu minggu lagi.
Semua mendukung Wulan dengan doa. Terlebih orang tua Wulan di kampung yang diberi tahu pamannya  dengan mengirimkan surat. Bahkan orang sekampung tahu tentang Wulan yang terpilih mengikuti lomba melukis.
Dan hasilnya adalah Wulan memenangkan perlombaan itu. Semuanya bersujud syukur. Tak pernah terpikirkan bahwa Wulan bisa sehebat itu. Lukisannya mengejutkan, bergambar orang-orang kampung sedang bergotong royong menanam padi di sawah dengan latar warna matahari yang baru menyembul dari balik bukit, pencahayaan yang dilukiskan Wulan sangat sempurna.
Semenjak Wulan memenangkan perlombaan itu, namanya menjadi sangat harum di sekolah. Banyak yang iri padanya secara positif. Ia kini menjadi siswa teladan di sekolah. Nilai-nilai ademiknya pun menjadi yang terbaik di sekolah.
Karena kemenangan yang telah di raih oleh Wulan tersebut, maka sekolah tak segan-segan akan mengirimkan Wulan untuk mengikuti lomba melukis tingkat Nasional. Tawaran itu disampaikan Wulan kepada keluarganya, suatu kebanggaan yang sangat membahagiakan. Wulan juga dengan hati yang berdebar menyanggupi tawaran dari sekolah. Ia akan sekuat tenaga menyiapkan semuanya demi mengharumkan nama sekolahnya dan nama kampungnya, terlebih membahagiakan orang tuanya. Sungguh, Anak kampung itu kian bersinar.
Perlombaan dilaksanakan di ibukota Negara. Dengan diantar pihak sekolah beserta orang tuanya, Wulan merasa lebih tenang. Dua minggu yang lalu, ia telah mempersiapkannya. Ia yakin ia bisa menang. Ia akan menggambar suasana kampungnya yang begitu menghipnotisnya semenjak ia kecil dulu. Suasana yang membuat jiwanya bersajak, dan mampu mengenali ciptaanNya. Dalam pemikiran kanak-kanaknya, bahwa semesta yang sangat indah itu pasti sebuah buah karya yang Maha pencipta, Sang kuasa, seperti yang selalu dijelaskan oleh orang tuanya dan guru ngajinya, tentang Dzat yang tak terlihat namun bisa dirasakan lewat ciptaanNya. Dari pengalaman masa kecilnya itulah maka tumbuh dari hatinya dan pemikirannya untuk peka pada segala sesuatu. Pengamatannya yang luarbiasa dan hatinya yang putih mengeja kedahsyatan alam yang sempurna beserta penciptaNya.
***
Dengan tema “Gemintang Petang Telah Membawa Wulan, Siwa Smp Budi Karya Menjuarai Lomba Melukis Tingkat Nasional. Begitu isi berita di Koran Nasional. Ada  foto dirinya beserta lukisannya. Lukisan yang sangat indah. Tampak seorang gadis dipadang ilalang sedang menatap langit yang merambang petang. Ada kerlip beberapa bintang yang menyatu dengan warna langit. Begitu sempurna pengolahan warna itu, seolah-olah ketika kita melihatnya juga ikut merasakan suasana yang demikian.
Wulan. Gadis kampung dengan semangat belajar yang tinggi serta tekun mengasah bakatnya menjadi prestasi yang luar biasa. Bagi Wulan semua ini adalah sebuah keajaiban. Semuanya serba dari nol, namun berkat kegigihannya dalam menggali ilmu pengetahuan, maka dirinya bisa lebih baik dari yang lain. Tak ada yang tak bisa jika dilakukan dengan sungguh-sungguh, begitu motto hidupnya. Dan tiga bulan kedepan, ia akan diikutsertakan mengikuti lomba melukis tingkat Asia.
Pontianak, 24 Januari 2013

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.