Ceritera dari Negeri Remah-remah Roti



Cerpen Vivi Al-Hinduan

Und setzt ihr nicht das Leben ein, nie wird euch das Leben gewonnen sein
Hidup yang tak dipertaruhkan, tak akan dimenangkan.
( Friedrich Schiller 1723-96)
Aku bebas berkelana ke segenap pelosok negeri di bumi ini. Seperti udara, aku berhembus. Laksana burung, aku mengepak. Suatu ketika, Embun membisiku untuk pergi ke sebuah negeri tanpa malam. Negeri yang lahir dari nyanyian lara dan sastra yang menggigil. “Dahulu, negeri itu pernah punya malam yang panjang,” bisik Embun kepadaku, “tapi malam hanya menghadirkan kelam. Kelam yang dalam dan panjang, sedalam jeritan anak-anak perempuan yang dipaksa menyerahkan keperawanan mereka kepada ayah-ayah kandung mereka sendiri. Itu terjadi hampir setiap malam di seluruh penjuru negeri itu. Hingga akhirnya, demi memoles kembali citranya yang telah rusak di mata rakyat, pejabat tertinggi di negeri itu mengusir malam dari negeri mereka untuk selamanya.”
*****
Di negeri tanpa malam itu, siang terasa begitu gersang. Segersang suara penyanyi dangdut yang baru saja usai menyanyi di hadapan penonton. Lalu terdengar seorang pria berperut buncit sedang berorasi di tengah panggung. Beberapa orang berjubel di bawah panggung. Sebagian pemuda terlihat setengah mabuk, mungkin habis menenggak bir usai suguhan musik dangdut dengan iringan penari yang
mampu membuat pikiranmu melayang. Sejenak melupakan tangan-tangan kemiskinan yang mencekik lehermu.
Si bapak berperut buncit itu berbicara lantang dengan pengeras suara, “Bapak dan Ibu sekalian, jangan lupa untuk memilih saya sebagai wakil anda. Saya berjanji akan lantang menyuarakan keinginan anda semua. Saya akan membangun waduk raksasa untuk mengairi sawah-sawah kalian. Itu janji saya jika anda memilih saya di pemilihan legislatif nanti. Jangan lupa mencoblos nama dan partai saya, ya.”
Lalu si bapak tadi memanggil dua orang pengawalnya, “Ayo, cepat! Bagikan duitnya. Mumpung tidak ada pengawas dan wartawan.”
Aku menyaksikan semua itu dengan tergagu. Begitu mudahnya mengobral janji di negeri ini. Lalu tiba-tiba, seseorang membisikkan sesuatu di telinga si bapak pengobral janji itu. Aku bisa mendengar bisikan itu, “Pak, desa mereka kan tidak punya sawah. Buat apa Bapak membangun waduk?” dengan tenang si bapak berkata, “Tenang saja, kalau perlu sawahnya saya bikinkan sekalian. Hahahaha…”
Dan aku pun berlalu dari tempat itu.
****
Tujuanku berikutnya ke tepi laut. Di mana para nelayan, bagian paling miskin dari penduduk negeri ini, sibuk mencari ikan di laut mereka. Dengan kapal yang sederhana, mereka harus bersaing dengan kapal-kapal berbendera asing yang dilengkapi peralatan canggih. Lalu aku mendengar suara dua bocah di tepi dermaga yang berteriak kagum memandang kapal-kapal berbendera asing itu.
“Lihat, Kei! Itu kapal Thailand, ya? Hebat sekali pukat raksasa mereka itu, ya? Sekali menebar pukat, bisa dapat ribuan ikan. Kapal kita mana ada yang bisa seperti itu. Kena badai saja karam. Payah!”
“Alah, itu belum seberapa. Itu, lihat! Yang besar dan megah itu kapal berbendera Jepang. Kamu tahu, Nai, di dalam kapal itu dilengkapi dengan pabrik pengolahan ikan. Setelah mereka menjarah ikan-ikan kita, mereka langsung memrosesnya di dalam kapal yang sama, dan menjualnya kembali dalam bentuk kalengan kepada rakyat kita. Hebat, kan?”
Baru saja aku hendak berlalu, tiba-tiba kudengar Matahari berkata lirih, “Negeri ini ibarat sebuah roti manis yang dikerubungi semut-semut asing. Semut-semut itu menguras habis isi roti tersebut, nyaris tak bersisa. Kepada rakyat yang lapar hanya tersisa remah-remah roti. Itupun, terkadang, harus didapat dengan mencuri.”
****
Di sebuah gubuk kecil di pinggir rel kereta api, aku menuju. Aku melihat puluhan anak kecil duduk rapi di atas lantai, beralaskan tikar. Beberapa pemuda, lelaki dan perempuan, tampaknya sedang mengajar di depan. Anak-anak itu sibuk menggambar di buku gambar masing-masing. Lalu seorang pria mendekati seorang anak lelaki yang duduk di pojok kiri depan.
“Adi sedang menggambar apa?” tanya si pria.
“Mobil, Kak,” jawab si anak. Ia memperlihatkan gambar sebuah sedan berwarna biru tua.
“Oh, Adi kalau sudah besar pengin jadi pembalap ya, kayak Moreno Suprapto?”
Si anak menggeleng.
“Terus, apa dong? Oh, Kakak tahu. Pasti Adi pengin jadi pengusaha mobil ya?”
Si anak tetap menggeleng. Akhirnya ia berkata. Suaranya pelan, nyaris tak terdengar, “Ayah Adi seorang buruh bangunan, Kak. Ayah nggak punya seragam. Adi pengin jadi supir taksi biar tiap hari bawa mobil sambil pake seragam yang bagus.”
Mendadak seisi ruang pengap itu senyap. Lalu suara pun melenyap. Aku bergegas keluar. Aku kembali mengembara di negeri yang berdebu ini. Tapi di sana-sini, yang kutemui hanya airmata yang bergelayut pada senja. Di desa-desa, kutemui para petani yang menangisi kedelainya dan berasnya dan jagungnya yang membusuk, karena pemerintahnya lebih menyukai segala sesuatu yang berasal dari luar negeri.
****
“Angin, kau sudah menyaksikan hampir semua sisi wajah negeri ini,” ucap Hujan. “Tapi sudahkah kau berkelana ke bagian negeri ini yang tertutup kabut asap? Pergi dan dengarlah jeritan rakyat negeri ini di balik pekatnya kabut asap yang menyelimuti mereka.”
Lalu aku berhembus ke sana. Aku melihat jutaan hektar lahan di sana tertutup kabut asap. Bukan. Itu bukan kehendak Tuhan. Tidak mungkin Tuhan tega mengirim bencana yang sama terus-menerus selama empat belas tahun. Aku berusaha menembus pekatnya kabut. Dan tibalah aku di sebuah rumah. Kulihat, puluhan orang berkumpul di rumah itu. Wajah mereka tidak sepenuhnya terlihat, hanya mata mereka yang menyalang. Tak ada airmata di sana. Barangkali sudah terlampau lelah mereka menangis. Di dalam rumah, aku menyaksikan seorang perempuan yang tak henti menangisi seorang bocah di hadapannya yang terbungkus kafan. Lalu kudengar, perempuan lain berbisik ke perempuan berjilbab biru di sampingnya, “Kasihan, ya? Baru tiga hari yang lalu ia melahirkan bayinya. Kini bayi itu sudah meninggal akibat tidak kuat menghidu asap hasil pembakaran lahan kelapa sawit.”
Si perempuan berjilbab biru menyahut, “Kemarin anakku pergi ke kantor pos. Dia mengirim surat buat presiden kita. Semoga beliau berkenan datang ke mari.”
“Suamiku mengajak kami naik bis ke kota lain,” kata perempuan berbaju putih di sampingnya. “Besok kami sekeluarga berangkat. Kami akan kembali jika bencana ini sudah mereda.”
Aku terbang. Aku tak ingin larut dalam kesedihan. Di awan, aku bertemu Elang. Ia  menyarankanku untuk tamasya ke bagian tengah negeri ini. “Kalau kau ingin melihat darah yang tumpah sia-sia dan jutaan nyawa yang tak berharga, pergilah ke sana,” ujarnya.
Dan aku menuju ke tanah itu. Di sana, aku menuju ke sebuah masjid yang dikepung orang-orang berseragam dan bersepatu lars. Mereka berjumlah lima orang, semua memakai penutup muka. Mereka berdiri mengitari di luar masjid, sedang mengarahkan senapan ke arah seorang pria yang sedang sholat. Baru saja pria itu selesai sholat, seorang di antara pria bertopeng berteriak, “Tembak saja dia!”
“Sabar. Kita dengarkan permintaan terakhirnya,” ujar temannya.
“Alah! Buat apa pakai permintaan terakhir segala? Kayak terpidana mati saja.”
“Suami saya bukan teroris!”, seorang wanita berlari ke arah masjid.
“Siapa lagi itu? Mengganggu saja.”
“Tembak saja sekalian, Dan.”
Si wanita duduk bersimpuh dan memegang kedua kaki lelaki yang dipanggil ‘Dan’ tadi. sepertinya dia pemimpinnya.
“Saya mohon. Tolong jangan tembak suami saya. Dia bukan teroris. Dia tidak pernah membunuh orang seumur hidupnya. Dia cuma seorang muslim biasa. Anak kami masih kecil. Saya mohon..”
Sebuah sepatu lars melayang ke perut si wanita yang membuncit. Ia terduduk. Setetes darah membasahi gamis hitamnya.
Tiba-tiba, pria itu berkata lantang, “Silahkan kalau kalian mau menembak saya, saya pasrah. Tapi saya punya satu saja permintaan terakhir sebelum menghadap Allah.”
“Ayo, cepat katakan!” bentak seorang bertubuh tambun.
“Kalian lihat di depan masjid ini ada tiang bendera? Saya ingin memberi penghormatan terakhir kepada bangsa ini sebelum..”
Dor! terdengar bunyi letusan mengenai dinding masjid tua itu. Beberapa keeping semennya berhamburan. Sebuah lubang besar menganga rakus.
“Hei, sabar! biarkan dia memberi penghormatan terakhirnya.”
Dengan diseret lima pria kekar itu, si pria dihempaskan di depan tiang bendera. Petang mengganas. Bumi meranggas. Ia berdiri tegak dan gagah. Tangannya berada di sisi kanan keningnya. Menghadap ke bendera negaranya yang berkibar, ia menyanyi pelan. Suaranya parau dan bergetar. Airmata menetes di pipinya.
Indonesia tanah airku/ tanah tumpah darahku/ di sanalah aku berdiri jadi pandu ibuku/ Indonesia…
Dor!
Dan darah pun tumpah di tanah itu.
*****
Di kafe sebuah hotel bintang lima di ibukota negeri itu, kudengar dua orang pria tengah berbincang. Aku mendekat. Aku berputar-putar di antara kepulan asap.
“Kekuasaan itu seperti candu, Bung. Begitu memabukkan hingga kita tak berani melepaskannya,” kata seorang pria setengah baya sambil menghisap cerutu impornya.Di hadapannya, seorang elaki yang dipanggil “Bung” sibuk mengetik sesuatu di laptopnya. Usianya kira-kira separuh usia si pria setengah baya.
“Nah, beres, Pak,” ujarnya, “fan page Facebook Bapak, Twitter, laman, semua lengkap.”
“Bagus.Nggak sia-sia saya bayar you mahal. Sekarang tinggal you aturlah. Promosikan saya sebaik mungkin, oke? Jangan lupa, citrakan saya sebagai calon wakil rakyat yang senang blusukan ke mana-mana, senang ketemu rakyat miskin. Kalau uangnya kurang, you tinggal telpon Budi.”
“Baik, Pak.”
Telepon si bapak setengah baya berdering. Sepertinya ada pesan masuk. Bapak setengah baya khusuk membaca pesannya.Akhirnya ia berkata, “Saya tinggal dulu,ya, Bung. Saya mau blusukan dulu. Biasa, pencitraan. Mumpung rakyat kita masih gampang tercengang. Hahahaha…”
Sayup-sayup terdengar alunan tembang lawas The Great Pretender yang dibawakan oleh grup The Platters   Yes, I am the great pretender/ just laughin’ and gay like a clown/ I seem to be what I’m not, you see/ I’m wearing my heart like a crown/ pretending that you’re still around/
*****
Lalu orang-orang palsu meneriakkan kegembiraan palsu dan mendebatkan gagasan-gagasan palsu di tengah seminar dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya demokrasi palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring dan palsu.1) Hanya sunyi dan hening yang terhidang di atas piring pada sebuah hari yang berkeringat: lengket dan masam, di negeri tanpa malam. Tapi bukan di tanah airku. Bukan di tanah airku!2)

1)      Dikutip dari penggalan puisi berjudul ‘Sajak Palsu’ karya Agus R. Sarjono
2)      Dikutip dari penggalan  puisi berjudul ‘Bukan untuk Kita’ karya Agus R. Sarjono















Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.