Bunda dan Lelaki Pilihan
Cerpen Addien Sjafar Qurnia
Aku
hanya tertunduk ketika hawa panas kembali menjalari setiap inci wajahku. Tak
berani rasanya mengangkat muka. Terlebih, saat wanita lembut itu menatapku
dalam-dalam. Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah hidupku, aku merasa tak
mampu berkata-kata.
Wanita
itu diam tanpa suara. Dan itu semua sudah cukup bagiku sebagai tanda bahwa
beliau menanti penjelasanku. Sesekali jemari lentiknya yang mulai keriput
tampak sigap membolak-balik lembaran kertas berjilid rapi di tangannya. Pupilnya
berlari menelusuri kalimat-kalimat yang berhamburan pada lembaran biografi
milik Langit. Sementara aku hanya mematung menantikan komentar beliau.
“Jadi...
bagaimana menurut Bunda?” akhirnya aku menyerah pada kebisuan kami yang cukup
lama.
“Apanya
yang bagaimana? Jika dia memang serius menginginkan gadis semata wayangku
seperti yang ditulisnya di sini, suruh saja ia kemari!” ujarnya seraya
tersenyum lembut.
Air
mataku sontak luruh di pangkuan wanita yang
masih terbalut mukena itu. Isakku terdengar halus. Entah apa sebabnya, aku merasa malu jika harus bercerita tentang lelaki yang mengganggu pikiranku akhir-akhir ini.
masih terbalut mukena itu. Isakku terdengar halus. Entah apa sebabnya, aku merasa malu jika harus bercerita tentang lelaki yang mengganggu pikiranku akhir-akhir ini.
“Duh,
ada pangeran cakep mau datang, kok malah
nangis?” Bunda meledek hingga membuat isakku bertambah keras.
"Sudah,
anak manis nggak boleh nangis. Apa yang mengganggu pikiranmu?” bujukan khasnya
cukup efektif meredakan tangisku.
“Naya
bingung, Bunda. Naya nggak yakin,” lirihku disela-sela isak yang tertahan.
“Kenapa
harus bingung? Menurut Bunda, Langit lelaki yang baik makanya ia berani
mengajakmu menikah. Kalo dia lelaki kebanyakan, mungkin anak gadisku hanya
dipacarinya bertahun-tahun, lalu ditinggalkan tanpa kejelasan. Iya kan?”
“Iya, tapi aku takut jika Langit tak memenuhi
standar calon menantu ideal untuk Bunda. Usianya terpaut dua tahun di bawahku.
Selain itu, ia juga bukan lelaki yang punya penghasilan sekian banyak. Aku
khawatir Bunda tak setuju,” ucapku melepas uneg-uneg lalu menenggelamkan diri
kembali dalam dekapannya yang hangat.
Wanita
diambang enam puluh itu tertawa lepas, sebelum akhirnya bertanya, ”Naya...
Naya. Sejak kapan kau tahu standar calon menantu idealku?”
Aku
menggigit bibir, resah. Pertanyaan Bunda telak menghantamku. Memang benar, aku
tak pernah bertanya ihwal syarat calon menantu idamannya. Jangankan untuk
bertanya, untuk memulai pembicaraan ini saja membuat pipiku merona merah jambu.
“Setiap
orangtua memiliki syarat khusus untuk calon pemimpin putrinya, Naya. Dan syarat
itu tentu berbeda. Ketika dia mampu menafkahimu dengan harta yang baik dan
halal, itu sudah cukup bagiku. Tentu saja, syarat utamanya ia harus memiliki
agama yang baik agar dapat membimbingmu. Kau sudah cukup dewasa sekarang.
Mungkin ini waktu yang tepat bagiku untuk melepas tanggung jawab kepada seorang
lelaki seperti Langit,” jelas Bunda panjang lebar sementara aku hanya
mengangguk.
“Percaya dengan hasil istikharahmu, Nay. Jika
kamu melibatkan-Nya dalam pilihan yang kau ambil, maka penyesalan itu tak akan
pernah hadir,” lanjutnya seraya mengecup keningku lembut.
Dadaku
penuh sesak dengan kegembiraan. Beban yang terasa menghimpit, seolah hilang. Kekhawatiran
akan penolakan Bunda terhadap lelaki yang telah menawarkan niat tulusnya
kepadaku, hanyalah prasangka yang dihembuskan setan di hatiku. Dan aku percaya
bahwa kebahagiaanku akan mengalir seiring doa Bunda.
♥♥♥
kalau mau gabung dalam forum lingkar pena ini,,gimana? makasih
BalasHapus